Oleh: Jufri
Ketua PD Muhammadiyah Kota Tebing Tinggi
Selasa 25 November 2025 lalu kami mengadakan perjalanan dari Medan menuju Banda Aceh untuk suatu keperluan mendesak, karena anak kecelakaan pada dari Senin sehari sebelumnya.
Berangkat dari Medan dalam cuaca hujan yang bervariasi. Kami sholat Zuhur di salah satu masjid di Kuala Simpang Aceh Tamiang dalam suasana hujan lebat. Selesai shalat kami melanjutkan perjalanan melewati hujan yang tak pernah berhenti sampai kami tiba di Banda Aceh pada pukul dua dini hari. Hujan terus saja terjadi sampai besoknya dihari Rabu.
Paginya kami mendapatkan kabar bahwa Aceh dan daerah lain termasuk Medan mengalami bencana banjir besar akses Medan Banda Aceh terputus. Sampai di situ kami tak pernah membayangkan bencananya demikian besar. Daerah yang malamnya kami lintasi waktu itu belum ada tanda-tanda akan banjir sebesar itu. Kepada Abang ipar yang ikut bersama mengantar kami sempat saya sampaikan bahwa biasanya di Seumadam sampai Kuala Simpang Setiap Desember selalu banjir dan tidak bisa dilewati dalam beberapa hari. Ternyata banjir datang lebih cepat dan lebih besar dari biasanya.
Banjir di Kuala Simpang tak hanya meninggalkan lumpur, trauma, dan rumah-rumah yang porak-poranda. Ia juga meninggalkan barisan mobil terendam, sebagian ditinggal pemiliknya dalam kepanikan.
Lebih memilukan, beredar kabar dari media nasional dan warga, termasuk dari Gubernur Aceh Muzakkir Manaf bahwa ada dugaan mayat di dalam beberapa kendaraan yang berakibat aroma tak sedap dilokasi bencana. Jika ini benar, maka kita sedang berhadapan bukan sekadar dengan bencana alam, tetapi juga dengan potret telanjang kelalaian sistemik.
Kita selalu pandai menyebutnya “musibah”. Seolah-olah banjir adalah takdir murni yang datang dari langit. Padahal, di banyak tempat, banjir adalah hasil negosiasi panjang antara kekuasaan dan eksplorasi: pembalakan, pembukaan lahan, eksploitasi sungai, dan izin-izin yang ditandatangani tanpa nurani ekologis.
Kuala Simpang hanyalah satu episode dari serial panjang kerusakan yang kita rawat bersama.
Mobil-mobil yang terendam itu bukan sekadar besi yang rusak. Di dalamnya ada cerita hidup: ada keluarga yang hendak menyelamatkan diri, ada orang yang terjebak dalam detik-detik terakhir, ada kemungkinan nyawa yang tak sempat dievakuasi. Mereka terjebak dalam kendaraan mereka mungkin tak bisa kemana-mana karena macet atau mereka tak menduga kejadiannya demikian cepat dan dahsyat. Ini adalah sebagian dampak bencana yang diakibatkan oleh iklim dan diperparah oleh ekologi yang makin rusak dan merana .
Ironisnya, disaat yang bersamaan, kita terus mendengar pidato tentang pertumbuhan ekonomi, masuknya investasi, dan ramahnya daerah terhadap pemodal. Jalan dibuka, hutan ditebang, sungai disempitkan. Semua demi kelancaran arus modal.
Tapi ketika air datang menagih ongkos ekologinya, rakyatlah yang pertama tenggelam. Sementara negara datang belakangan, sering kali hanya membawa spanduk bantuan.
Banjir Kuala Simpang harus dibaca sebagai dokumen sosial: bahwa tata ruang kita gagal, bahwa pengawasan kita lumpuh, dan bahwa hukum kita kerap tumpul ke atas, tajam ke bawah. Jika benar ada korban yang meninggal di dalam mobil, pertanyaannya bukan hanya “berapa orang,” tetapi “siapa yang bertanggung jawab?”
Apakah hanya hujan yang harus disalahkan? Ataukah ada izin-izin tambang, perkebunan, dan alih fungsi lahan yang melanggar logika hidrologi? Apakah sempadan sungai dijaga, atau justru diserobot? Apakah AMDAL hanya menjadi formalitas untuk menghalalkan proyek?
Negara sering datang dalam bentuk konferensi pers dan bantuan logistik. Tetapi jarang hadir dalam bentuk audit izin, pencabutan konsesi, dan pemidanaan aktor-aktor perusak lingkungan. Padahal, tanpa keberanian menyentuh akar masalah, banjir hanya akan menjadi tamu tahunan dengan jumlah korban yang terus bertambah.
Di Kuala Simpang hari ini kita melihat paradoks investasi: modal bergerak cepat, tapi keselamatan bergerak lambat. Jalan-jalan dibangun untuk distribusi barang, tetapi drainase diabaikan. Lahan dibuka untuk industri, tetapi hutan penyangga air dilucuti. Sungai diperlakukan seperti saluran limbah, bukan sebagai sistem kehidupan.
Dan ketika bencana terjadi, rakyat diminta bersabar. Diminta ikhlas. Diminta kuat. Seolah-olah kesabaran adalah pengganti kebijakan yang gagal.
Dugaan adanya mayat di dalam mobil terendam harus menjadi lonceng peringatan paling keras. Bahwa di balik grafik pertumbuhan ekonomi, ada nyawa yang hilang tanpa sempat dicatat negara. Ada kematian yang barangkali lahir bukan karena hujan semata, tetapi karena kebijakan yang tak berpihak pada keselamatan publik.
Banjir bukan lagi sekadar isu lingkungan. Ia telah menjadi persoalan moral dan hukum. Jika negara hanya mencatat kerugian materi, lalu di mana posisi korban sebagai manusia?
Jika negara hanya sibuk menormalisasi bencana, lalu siapa yang mengerem laju kerusakan?
Kuala Simpang hari ini menyodorkan satu cermin besar bagi kita semua: bahwa pemanfaatan sumberdaya alam tanpa etika ekologis adalah bom waktu. Ia mungkin memberi pemasukan jangka pendek, tetapi menagih korban jangka panjang. Dan yang selalu menjadi korban adalah mereka yang tak pernah duduk di meja perizinan.
Jika negara sungguh hadir, maka pasca-banjir bukan hanya soal evakuasi dan bantuan. Harus ada:
audit lingkungan yang terbuka, evaluasi izin-izin yang merusak, dan penegakan hukum yang tidak pandang bulu.
Jika tidak, maka setiap mobil yang terendam akan menjadi simbol kegagalan kita membaca tanda-tanda alam. Dan setiap nyawa yang hilang akan tercatat sebagai korban dari keserakahan yang dilegalkan.
Banjir Kuala Simpang bukan sekadar berita. Ia adalah dakwaan. Dakwaan terhadap sistem yang terlalu ramah pada eksploitasi hutan,
namun terlalu lambat melindungi kehidupan.
Kami selamat dari bencana karena tidak berada di sana lagi. Tapi saudara-saudara kami meregang nyawa dan kehilangan masadepannya di tanahnya sendiri. Mereka dihanyutkan oleh air yang tak tau jalan kecuali jalanya sendiri, dan manusia yang ada ditempat itu menjadi korbannya, setelah alam sendiri menjadi korban dari keserakahan manusia. (*)
Silaturahmi Kolaborasi Sinergi Harmoni





