TAJDID.ID~Medan || Metode kalkulasi kerusakan dan kerugian pascabencana yang digunakan pemerintah dinilai cacat mendasar, tidak hanya karena mengabaikan kehancuran sektor pertanian, tetapi juga karena gagal menghitung kerusakan ekologis yang justru menjadi akar penyebab bencana.
Kritik tersebut disampaikan secara tegas oleh Shohibul Anshor Siregar, akademisi dari FISIP UMSU Medan, menanggapi rilis data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dinilainya sempit dan tidak holistik. “Data yang dirilis BNPB baru menyentuh kulit terluar, yaitu kerusakan infrastruktur fisik yang kasat mata. Sengaja ditenggelamkan adalah krisis sesungguhnya: hancurnya sawah, kebun, ternak, dan jaringan irigasi yang menjadi nadi kehidupan masyarakat di daerah terdampak,” tegas Siregar dalam wawancara eksklusif, Senin (8/12).
Siregar merujuk pada pemberitaan sebelumnya, ketika BNPB menyebutkan nilai kerusakan minimal akibat bencana tertentu, namun perhitungannya didominasi rusaknya jalan, jembatan, dan fasilitas publik.
Analisis Baru: Paradigma Cacat, Hanya Hitung ‘Akibat’, Abaikan ‘Penyebab Ekologis’
Siregar melangkah lebih jauh dengan mengkritik paradigma penilaian yang menurutnya terbelah dan tidak adil. “Dengan tega mereka merasa bahwa yang patut dihitung hanya sebatas kerugian akibat rumah longsor atau banjir bandang. Padahal kerusakan ekologis yang menyebabkan longsor dan banjir itu sendiri, seperti hilangnya fungsi hutan, degradasi lahan, dan rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS), sekan dianggap tidak pernah perlu dikuantifikasi sebagai ‘kerugian’. Ini seperti menghitung biaya berobat orang yang keracunan, tetapi menutup mata terhadap pencemar yang meracuni sumurnya,” paparnya.
Menurutnya, dengan tidak menghitung nilai kehilangan jasa ekosistem (seperti penyerapan air, pencegah erosi, penyeimbang iklim mikro), negara secara tidak langsung membiarkan (subsidi) perusakan lingkungan berlanjut. “Perhitungan yang parsial ini membuat rehabilitasi ekosistem selalu menjadi agenda sekunder, padahal itu adalah investasi utama untuk mencegah bencana berulang,” tambah Siregar.
Menyoal Pertanggungjawaban Korporasi Ekstraktif dalam Demokrasi
Lebih tajam lagi, Siregar menyinggung soal keberanian politik dalam menelusuri sumber masalah. Dalam negara demokrasi, kata Siregar, adalah sebuah pantangan besar dan kemunduran beradab untuk menutup pintu investigasi atas pertanggungjawaban dari sumber masalah. “Banyak bencana hidrometeorologis yang kita hadapi saat ini, seperti banjir dan longsor, tidak lepas dari ekspansi dan praktik bisnis korporasi ekstraktif, baik di sektor perkebunan, pertambangan, maupun kehutanan.” jelas Siregar.
“Namun, dalam kalkulasi kerugian resmi, kerusakan yang diakibatkan oleh korporasi ini tidak pernah muncul sebagai ‘liabilitas’ yang harus mereka ganti. Biaya restorasi ekologi dan pemulihan sosial dibebankan sepenuhnya kepada negara (dan itu adalah uang rakyat), sedangkan keuntungan tak sah dari eksploitasi sumber daya diambil oleh segelintir pihak. Ini adalah bentuk subsidi terselubung dari rakyat kepada pelaku perusak lingkungan,” imbuhnya.
Mengapa Pertanian dan Ekologi Terabaikan?
Menurut Siregar, ada tiga masalah sistemik. Pertama, bias metodologi. “Tim assessor kerap hanya menghitung aset yang terdokumentasi secara administratif. Kebun warisan atau sawah tadah hujan yang tidak bersertifikat, serta sistem irigasi sederhana buatan masyarakat, dianggap ‘tidak ada’ dalam kalkulus resmi,” paparnya.
Kedua, sikap memandang rendah sektor pertanian sebagai ekonomi subsisten. “Ini fatal. Kerusakan satu hektar sawah bukan hanya soal tanaman mati. Itu adalah pemutusan rantai ekonomi keluarga, ancaman kelaparan, dan hilangnya modal kerja untuk musim tanam berikutnya. Ini kerugian ekonomi berantai yang harusnya masuk dalam buku neraca bencana,” kritiknya.
Ketiga, absensi partisipasi masyarakat. “Penilaian kerusakan dilakukan secara top-down dan cepat. Jarang ada mekanisme yang melibatkan petani dan peladang untuk mendokumentasikan sendiri kerugian mereka. Akibatnya, data yang masuk ke pusat sudah pincang sejak awal,” tambah Siregar.
Infrastruktur Pertanian: Vital tapi Terlupakan
Siregar secara khusus menyoroti absennya penilaian terhadap infrastruktur pertanian. “Jalan usaha tani, embung, saluran tersier, bahkan tempat penyimpanan gabah, semua itu adalah infrastruktur kritis yang menentukan pulih tidaknya sebuah komunitas agraris pascabencana. Mengabaikan ini dalam perhitungan berarti program rehabilitasi akan gagal mengembalikan kehidupan ekonomi warga,” ujarnya.
Dia memperkirakan, jika kerugian di sektor produktif dan kehilangan jasa ekosistem ini dimasukkan, angka total kerusakan dan kerugian (damage and loss) bisa berkali-kali lipat dari angka yang diumumkan BNPB.
Selain itu, jika hari ini satu keluarga kehilangan satu hektar kebun kopi yang diterjang longsor dan banjir, untuk menanam ulang dan budidaya komoditas yang sama diperlukan 3-5 tahun ke depan. Bukankah ini kerugian diabaikan?
Dampak dan Tuntutan
Konsekuensinya, kata Siregar, adalah rekonstruksi yang timpang dan siklus bencana yang tak putus. “Kita hanya sibuk memunguti pecahan di hilir, sambil membiarkan kerusakan terus terjadi di hulu. Rakyat kecil dihitung kerugiannya secara sewenang-wenang, sementara korporasi perusak lepas dari tanggung jawab.”
Oleh karena itu, Siregar mendesak:
1. Revisi Metodologi DaLA (Damage and Loss Assessment) BNPB dengan memasukkan indikator kerusakan ekologis penyebab bencana dan kerugian sektor produktif rakyat.
2. Audit Ekologis dan Penelusuran Hukum terhadap kontribusi korporasi ekstraktif dalam memicu kerentanan bencana di suatu wilayah.
3. Pelibatan aktif organisasi petani dan komunitas dalam proses pendataan kerusakan.
4. Transparansi publik terhadap metode penghitungan dan breakdown data kerugian per sektor.
5. Pengalokasian anggaran rekonstruksi yang proporsional untuk pemulihan mata pencaharian dan restorasi ekologi, dengan mekanisme ‘pembayar ganti rugi’ (polluter pays principle) yang menjerat korporasi perusak.

***
Kerusakan yang terjadi akibat banjir dan longsor di Sumatera tidak bisa dikatakan kecil. Data sampai Senin 8 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kerusakan rumah mencapai 156 ribu unit di 52 wilayah yang terdampak. Ada pula kerusakan sekitar 1.200 fasilitas umum, 199 unit kerusakan fasilitas kesehatan, 534 kerusakan sekolah, rumah ibadah sekitar 420 unit, gedung atau perkantoran sebanyak 234 unit, sedangkan jembatan putus 435 lokasi.
Berdasarkan data itu, seperti dilaporkan KajianBerita , Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto memperkirakan biaya untuk memperbaiki semua kerusakan akibat bencana itu mencapai Rp 51,82 triliun.
Data itu masih perhitungan minimal. Ada kemungkinan terus bertambah mengingat jumlah korban masih belum mencapai data final dan terus diperbarui setiap harinya. Kerja penggalian di Lokasi bencana masih terus dilakukan.
Sampai hari Senin 8 Desember 2025, pukul 13.00 wib, sudah 950 korban yang ditemukan meninggal. Dipastikan data itu akan bertambah karena masih ada sekitar 274 orang lagi yang hilang. Data soal kerugian fasilitas juga kemungkinan bertambah karena data yang ada saat ini belum final.
“Data ini belum akurat, masih terus kami lengkapi. Kami berkoordinasi dengan Kementerian PU. Khusus untuk Aceh saja, pemulihan sampai dengan saat ini (hingga) kondisi seperti semula membutuhkan anggaran Rp 25,41 triliun,” kata Suharyanto dikutip Senin (9/12).
Suharyanto melanjutkan untuk biaya perbaikan di daerah-daerah terdampak bencana di Sumatera Utara mencapai Rp 12,88 triliun. Sementara itu, untuk Sumatera Barat mencapai Rp 13,52 triliun.
“Kami laporkan ini secara nasional, dari Kementerian PU dengan penjumlahan dari tiga provinsi, estimasi yang diperlukan,” katanya.
Suharyanto menambahkan, anggaran perbaikan bakal dipergunakan untuk meningkatkan pelayanan kepada korban, pengungsi, dan masyarakat umum, mempercepat penyaluran santunan bagi ahli waris korban yang meninggal dunia dan hilang, mencukupi stok logistik secara berjenjang dari tingkat desa sampai ke daerah tingkat atasnya. (*)







