Oleh: M. Risfan Sihaloho
“Politik Hijau? Tidak Laku di Sini!”
Dalam konstelasi politik Indonesia, isu lingkungan hidup selalu menempati posisi paling bontot—kalah populer dari janji jalan mulus, sembako murah, atau serangan fajar yang dibungkus amplop. Di negeri ini, bicara soal politik hijau (green politics) itu seperti menjual payung di musim kemarau: tidak ada yang mau beli, apalagi membawa pulang.
Para politisi tahu itu betul. Mereka paham bahwa mayoritas konstituen jauh lebih tergoda oleh aroma uang kertas Rupiah berwarna merah ketimbang diskusi serius soal hutan yang botak, sungai yang sekarat, atau udara yang perlahan menggerogoti paru-paru warganya. Maka, jangan heran kalau nyaris tak ada politisi yang tertarik menjadikan isu lingkungan sebagai andalan. Mengapa? Karena tidak menjual. Tidak seksi. Tidak mendongkrak elektabilitas. Tidak bisa dibungkus dengan jargon “perubahan” dalam baliho ukuran raksasa.
Dan yang paling ironis: di negeri yang bencana alamnya datang bergiliran seperti paket promo, jejak dosa ekologis seorang politisi sama sekali tidak dianggap aib. Merusak lingkungan bukanlah skandal. Justru sering dianggap “risiko pembangunan”, narasi sakti yang bisa membersihkan apa pun.
Tetapi begitu banjir datang menggulung, longsor menelan desa, atau kabut asap menghentikan sinar matahari, barulah muncul kesadaran dadakan. Kita lalu berdiskusi panjang, saling tuding, dan mengutuk nasib seolah bencana turun dengan sendirinya, tanpa sebab, tanpa sejarah. Padahal, banyak dari bencana itu bukanlah murka alam, melainkan hasil dari kebijakan yang sembrono: izin konsesi tambang yang dibagikan seperti kupon parkir, hutan yang digunduli dengan brutal, dan tata ruang yang diotak-atik demi kepentingan jangka pendek.
Semua itu terjadi karena dalam kehidupan demokrasi kita, isu lingkungan tidak pernah dianggap penting. Pemilih jarang peduli. Politisi tidak merasa perlu. Dan pejabat yang lahir dari siklus itu pun menjalankan kebijakan dengan mentalitas “asal terpilih lagi, urusan bumi belakangan”.
Ke depan, jika orientasi politik kita masih begini—menyepelekan isu lingkungan sebagai hal remeh—maka jangan kaget kalau bencana akan datang seperti pelanggan setia. Repetitif, rutin, dan makin brutal.
Dan seperti biasa, yang rugi bukanlah elite yang duduk nyaman di kursi empuk ber-AC. Yang rugi dan sengsara selalu rakyat. Rakyat yang rumahnya hanyut. Rakyat yang sawahnya tertimbun. Rakyat yang anaknya batuk tak henti karena asap. Rakyat yang hak hidupnya dicicil oleh kebijakan yang tak pernah memihak masa depan.
Mungkin pada akhirnya, lingkungan hidup baru akan jadi isu penting ketika kita menyadari satu hal sederhana: uang bisa dicetak, jabatan bisa diganti, tapi bumi hanya satu—dan ia tidak menerima permintaan maaf. (*)








