Oleh: M. Rizky Anshori Manurung
Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) kembali terjadi di berbagai wilayah Sumatera Utara dan memicu kepanikan publik. Kelangkaan BBM ini kembali menghantui Sumatera Utara. Pasca bencana Alam yang melanda Wilayah Sumatera Utara dan daerah pesisir sekitarnya, antrean panjang kendaraan mulai terlihat diberbagai SPBU. Namun situasinya tidak hanya berhenti disitu. Di banyak titik, harga BBM eceran melonjak liar bahkan menembus harga Rp. 20 hingga Rp 30 ribu per liter, sebuah lonjakan yang tidak semestinya terjadi di wilayah dengan akses distribusi nasional.
Pertanyaan kemudian mengemuka: Apakah kelangkaan BBM ini murni akibat bencana alam, atau justru cermin dari kegagalan sistem dalam tata kelola distribusi energi di Sumut?
Bencana memang menganggu, tapi tidak seharusnya melumpuhkan.
Bencana yang menimpa Taput, Tapteng, Sibolga, Tapsel dan sekitarnya memang merusak infrastruktur dan menghambat jalur logistik. Tetapi gangguan tersebut hanya bersifat temporer. Ketika kelangkaan berlangsung berhari-hari, bahkan berminggu-minggu dan harga eceran meroket tanpa kontrol, maka penjelasan bahwa ini “sekedar akibat bencana” jelas tidak cukup.
Baca juga: Ketika Mantra Pejabat Tak Cukup Sakti Jinakkan Ular Antrian Panjang di SPBU
Kondisi tersebut menandakan bahwa sistem distribusi tidak memiliki cadangan memadai, tidak siap dengan skema mitigasi, dan gagal melakukan stabilitas pasokan. Seandainya pengawasan berjalan sebagaimana mestinya, tidak mungkin harga BBM bisa melambung tiga kali lipat dari harga resmi hanya beberapa kilometer dari SPBU.
Bencana mungkin menjadi pemicu, tetapi kepanikan, spekulasi, dan lemahnya control distribusi adalah bahan bakarnya.
Rantai Distribusi : Retak di Banyak Titik
Naiknya harga eceran hingga Rp 20-30 ribu per liter adalah sinyal kuat bahwa ada bagian rantai distribusi yang tidak bekerja sebagaimana mestinya, ketika SPBU kehabisan stok, namun kios-kios di pinggir jalan masih banyak yang menjual dengan harga melambung tinggi. Lalu apa yang sebenarnya terjadi ?
- Apakah distribusi benar- benar tersendat?
- Atau hanya tidak sampai ke tangan yang seharusnya?
- Siapa yang memantau Penyaluran ketika jalur resmi terganggu?
Fenomena ini mengindikasikan :
- Distribusi tidak tepat sasaran
- Penimbunan tak terpantau
- Celah pasar dibiarkan terbuka. Dan celah ini segera diisi oleh mereka yang mencari keuntungan secara instan.
Rakyat Kecil Menjadi Korban Utama
Di tengah kondisi ini, kelompok yang paling terkena dampak adalah masyarakat kecil. Pengemudi ojek, supir angkutan, nelayan, petani, mereka yang menggantungkan pendapatan harian pada bahan bakar dipaksa membeli BBM dengan harga setara daerah terisolasi.
Ketika satu liter Pertalite dihargai Rp 30 ribu, bukan hanya kendaraan yang berhenti, tetapi aktivitas ekonomi ikut tersendat secara sistematis. BBM bukan sekedar komoditas, ia adalah urat nadi pergerakan rakyat. Ketika urat nadi ini tersumbat, yang lumpuh bukan hanya transportasi, tetapi seluruh siklus kehidupan masyarakat.
Bencana Boleh Reda, Sistem Tetap Perlu Dibedah
Narasi bahwa “ ini akibat bencana” sering dijadikan tameng instan untuk menutup masalah structural. Namun Publik tidak boleh puas dengan jawaban setengah matang. Kelangkaan yang berulang, harga eceran yang melonjak liar, dan lemahnya pengawasan adalah tanda bahwa sistem distribusi BBM Sumut rapuh dan mudah goyah.
Yang diperlukan bukan sekedar pengiriman tambahan pasokan, tetapi :
- Transparansi distribusi
- Penguatan fungsi pengawasan formal dan masyarakat
- Mekanisme darurat berbasis cadangan distribusi regional
- Respon cepat terhadap gangguan pascabencana
Sistem energi yang sehat tidak runtuh hanya karena satu ruas jalan rusak atau satu gudang terputus.
Kelangkaan BBM di Sumut bukan hanya efek samping bencana alam tetapi alarm keras tentang rapuhnya manajemen distribusi dan pengawasan energi.
Bencana mungkin memicu kritis, namun harga BBM eceran melonjak hingga Rp 20 – 30 ribu per liter adalah bukti adanya :
- Kekosongan kontrol
- Lemahnya mitigasi
- Potensi permainan pasokan di tingkat lokal
Masyarakat tentu berhak mendapatkan penjelasan jujur, langkah konkret, dan sistem distribusi yang tidak mudah goyah oleh keadaan darurat. (*)



