Oleh: M. Risfan Sihaloho
Kekayaan alam negeri ini memang luar biasa dan tidak pernah habis dipuji. Dari Sabang sampai Merauke, dari puncak pegunungan hingga dasar laut terdalam, tanah air ini dianugerahi mineral, energi, keanekaragaman hayati, lahan subur, laut yang luas, dan hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia.
Dulu, para penjelajah asing tidak pernah datang karena kagum pada budaya atau keramahan tuan rumah. Mereka datang karena satu alasan sederhana: negeri ini punya harta, dan harta itu pantas direbut.
Itulah yang membuat bangsa imperialis berabad-abad lalu rela menyeberangi lautan, menghadapi badai, penyakit, dan risiko kematian hanya demi rempah, emas, dan kekayaan alam Nusantara.
Ironisnya, setelah delapan dekade merdeka, status kita tidak jauh berubah. Hanya saja kali ini, penjajah datang tanpa kapal perang dan meriam. Mereka datang dengan jas rapi, berdasi, proposal investasi, dan kontrak jangka panjang yang diam-diam lebih mematikan dari peluru.
Katanya, kekayaan alam adalah modal besar untuk memakmurkan bangsa. Namun nyatanya, kesejahteraan itu lebih mirip mimpi yang selalu ditunda, tak kunjung bisa diwujudkan.
Mirisnya, yang menikmati kekayaan alam bukan petani yang kehilangan tanah, bukan masyarakat adat yang terusir, bukan nelayan yang kehilangan lautnya. Yang menikmati hanyalah segelintir elit dan perusahaan asing yang datang dengan jargon manis: “demi pengembangan”, “hilirisasi”, “modernisasi”, dan tentu saja kata pamungkas paling keramat dalam kamus birokrasi: “investasi”.
Investasi terdengar seperti mantra suci. Begitu diucapkan, rakyat diminta diam, akademisi diminta realistis, aktivis diminta tidak mengganggu, dan alam diminta berkorban.
Awalnya disebut eksplorasi, istilah yang terdengar sopan, beradab, dan penuh janji keberlanjutan. Tetapi tidak lama kemudian berubah menjadi “eksploitasi ugal-ugalan”. Gunung diratakan, hutan dibakar atau ditebang habis, sungai dicemari limbah dan udara penuh partikel beracun,
Ketika bencana datang, mulai dari banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hebat, dan pencemaran yang mengancam generasi baru, kita berpura-pura kaget. Seolah bencana muncul tiba-tiba, bukan hasil keserakahan yang sudah berlangsung puluhan tahun.
Lalu mulailah drama panjang yang selalu sama: konferensi pers, kunjungan pejabat dengan rompi warna oranye dan helm proyek, janji pemulihan, kemudian diam. Setelah itu, siklus dimulai lagi: izin baru, proyek baru, kerusakan baru, korban baru.
Sumber daya alam seharusnya berkah. Tetapi di negeri yang salah urus, ia justru berubah menjadi kutukan. Para ekonom menyebut fenomena ini sebagai resource curse, kutukan sumber daya. Yaitu keadaan ketika negara kaya alam justru miskin, korup, rapuh, penuh konflik, dan bergantung pada pihak luar.
Sumber daya alam, kata orang bijak, bisa menjadi berkah. Tapi dalam pengelolaan yang serampangan, justru ia dapat menjelma jadi kutukan. Kutukan yang terus berulang, tapi anehnya tetap kita sambut dengan tepuk tangan.
Akhirnya, alih-alih dapat memberikan sejahtera, justru kekayaan alam itu menghadirkan malaoetaka.
Negeri ini bukan kurang kekayaan. Ia hanya kekurangan keberanian untuk mengatakan: “cukup!”. Cukup menjadi bangsa pasar. Cukup menjadi penyedia bahan mentah. Cukup menjadi tuan rumah yang hanya kebagian debu pesta.
Kita sering lupa: yang membuat bangsa maju bukan apa yang dikandung bumi, tetapi bagaimana bangsa itu memperlakukan kekayaannya dengan etika, ilmu pengetahuan, dan kepentingan jangka panjang.
Sementara kita? Kita lebih sibuk menambang daripada membangun. Lebih sibuk menjual bahan mentah daripada menciptakan nilai tambah. Lebih bangga menjadi negara pemasok daripada produsen kelas dunia.
Mungkin kita tidak benar-benar miskin sumber daya. Mungkin yang benar-benar miskin adalah cara berpikir, keberanian untuk mandiri, dan kemampuan menahan kerakusan.
Sudah saatnya bangsa ini berhenti menjadi penonton di tanah sendiri. Berhenti menjadi penyedia bahan baku murah bagi industri asing. Berhenti percaya bahwa kemajuan hanya bisa dibeli, bukan dibangun.
Dan sudah saatnya kita berhenti memperlakukan alam seperti musuh yang harus ditaklukkan. Karena pada akhirnya, alam tidak butuh manusia. Kitalah yang membutuhkan alam.
Semoga bencana yang datang belakangan ini tidak sekadar menjadi tajuk berita yang cepat dilupakan seperti iklan dan tren media sosial. Semoga ia menjadi nasihat keras dari bumi. Peringatan terakhir sebelum semuanya terlambat.
Semoga juga ia menjadi tamparan yang membuka mata: bahwa alam bukan objek untuk ditaklukkan, tapi ruang kehidupan yang harus dijaga.
Sebab jika alam sudah jenuh, murka, dan mulai menagih utang, tidak ada undang-undang, investor, aparat, atau teknologi secanggih apa pun yang mampu menahannya.
Sampai hari itu tiba, mungkin pertanyaan paling jujur yang harus kita ajukan adalah: “Kita ini bangsa pemilik kekayaan, atau sekadar penonton yang menyaksikan kekayaan itu dijarah di depan mata tanpa bisa berbuat apa-apa?”.
Tragisnya, sekali dapat bagian, justru ketiban bencana. (*)







