TAJDID.ID~Medan || Kota Medan tengah menghadapi krisis ketertiban yang makin sulit disembunyikan. Di balik jargon “kota modern dan tertib”, realitas di lapangan justru memperlihatkan wajah sebaliknya: praktik parkir liar, pungutan liar (pungli), dan pencurian fasilitas umum kian marak. Dari pusat kota hingga gang-gang sempit, rayap besi—sebutan bagi pencuri penutup drainase, pagar, dan rambu jalan—bergerak bebas tanpa pengawasan.
Fenomena ini, menurut Farid Wajdi, Founder Ethics of Care, mencerminkan kelumpuhan negara dalam menjaga ruang publik.
“Kondisi di Medan hari ini mencerminkan kegagalan negara di level paling dasar: ruang publik. Perangkat hukum sudah ada, tetapi tidak dijalankan. Hukum berhenti di atas kertas,” ujar Farid saat dimintai tanggapan, Ahad (10/11/2025).
Kebijakan Tambal Sulam dan Kepentingan Politik
Farid menilai Pemerintah Kota dan DPRD Medan gagal membaca kedaruratan situasi. Alih-alih menghadirkan solusi konkret, kebijakan yang diambil justru bersifat tambal sulam dan reaktif.
Ia mencontohkan pencabutan aturan parkir berlangganan, yang memperlihatkan kebingungan antara orientasi pelayanan publik dan kepentingan politik.
“DPRD terlihat lebih sibuk memperdebatkan retribusi daripada menata sistem parkir yang transparan. Sementara Pemko Medan terus berbicara soal digitalisasi e-parking, tapi gagal memastikan aparat di lapangan bekerja tanpa kompromi dengan para penguasa parkir liar,” tegas Anggota Komisi Yudisial RI periode 2015–2020 ini.
Kontrak Sosial yang Retak
Lebih jauh, Farid melihat fenomena ini sebagai tanda retaknya kontrak sosial antara warga dan pemerintah. Banyak pelaku parkir liar maupun pencuri besi berasal dari kelompok miskin perkotaan yang terpinggirkan, namun hal itu tidak bisa menjadi pembenaran atas pelanggaran hukum.
“Masalah ini bukan sekadar ekonomi, tapi krisis moral publik. Pemerintah gagal mengobati akar persoalan seperti kemiskinan dan pengangguran, sementara warga sendiri makin permisif—lebih memilih membayar parkir ilegal daripada ribut,” ujarnya.
Menurut Farid, ketika penyimpangan diterima sebagai kebiasaan, masyarakat kehilangan kepekaan moral terhadap hukum, dan pada akhirnya ketertiban publik menjadi barang langka.
Dampak Ekonomi: PAD Bocor dan Investasi Lari
Secara ekonomi, kerugian akibat praktik parkir liar dan pencurian fasilitas umum sangat besar. Kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor parkir masih tinggi karena transaksi tunai tidak tercatat, sementara kehilangan aset publik seperti penutup drainase, pagar, dan rambu jalan menelan biaya ratusan juta rupiah per tahun.
“Setiap fasilitas yang hilang harus diganti dengan uang rakyat. Ini pemborosan yang menandakan lemahnya tata kelola dan pengawasan,” tambah Farid.
Ia juga menilai parkir liar dan pungli menurunkan kenyamanan usaha serta menciptakan ketidakpastian bagi investor. “Tidak ada pelaku usaha yang mau menanam modal di kota yang dikuasai praktik liar seperti itu,” tegasnya.
Warga Harus Berani Tidak Diam
Menurut Farid, Medan kini berada di persimpangan penting: menegakkan hukum dan memperkuat tata kelola, atau membiarkan ketidaktertiban menjadi budaya. Ia mendesak **Wali Kota dan DPRD Medan berhenti saling menyalahkan** dan mulai bekerja sebagai pelindung kepentingan publik.
“Penataan parkir harus disinergikan dengan pemberdayaan ekonomi warga. Pengawasan terhadap pencurian besi mesti diperkuat lewat sistem digital dan partisipasi masyarakat,” katanya.
Ia menutup dengan refleksi tajam:
“Kota yang aman tidak lahir dari banyaknya polisi, tapi dari masyarakat yang berani menolak tunduk pada kekacauan. Menolak pungli, melapor pencurian, dan mendukung sistem parkir digital—itulah tanda kota beradab. Karena ketertiban tidak dibangun oleh beton dan CCTV, melainkan oleh keberanian moral untuk tidak diam.” (*)







