TAJDID.ID~Medan || Kasus keracunan massal akibat makanan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali mencuat di sejumlah daerah, dari Cipongkor hingga wilayah lain. Ratusan bahkan ribuan siswa terkapar setelah menyantap makanan yang seharusnya menyehatkan. Catatan pemerintah menunjukkan jumlah korban sudah menembus angka ribuan, menjadikan insiden ini bukan lagi kasus sporadis, melainkan darurat nasional.
Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menegaskan bahwa negara harus serius menegakkan hukum dalam kasus ini. “Jangan hanya pengelola dapur atau vendor katering yang disalahkan. Pemerintah, dinas terkait, bahkan kementerian juga memikul tanggung jawab karena lalai mengawasi jalannya program,” ujarnya, Kamis (25/9/2025).
Menurut Farid, secara hukum pengelola dapur MBG jelas dapat dimintai pertanggungjawaban. Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 mewajibkan penyelenggara pangan menjamin keamanan, mutu, dan gizi makanan. Kegagalan memenuhi kewajiban ini bisa berimplikasi pidana, apalagi jika menimbulkan korban sakit atau meninggal.
“Pasal 359 KUHP juga sangat relevan, karena kelalaian yang menyebabkan luka berat atau kematian bisa dipidana. Artinya, jerat hukum pidana, perdata, maupun administratif bisa sekaligus diberlakukan,” jelas Farid.
Namun ia menilai akar persoalan justru ada pada kelalaian struktural. Lemahnya pengawasan membuat vendor dengan standar rendah tetap lolos. “Pengadaan sering lebih mementingkan harga murah ketimbang kualitas. Dapur tidak diverifikasi, sampel makanan tidak diuji, distribusi tidak dikawal. Program dijalankan buru-buru dalam skala besar tanpa uji coba. Itu kombinasi yang berbahaya,” tegasnya.
Farid juga mendorong Presiden Prabowo mengambil langkah nyata, bukan sekadar instruksi evaluasi. “Pertama, lakukan moratorium sementara MBG di daerah rawan sampai standar keamanan pangan dipastikan. Kedua, bentuk tim investigasi independen dengan melibatkan ahli gizi, pakar keamanan pangan, dan lembaga pengawas. Ketiga, pastikan proses hukum transparan: dapur lalai diproses pidana, kontraktor nakal dicoret, pejabat abai dicopot,” kata Farid.
Ia menambahkan, negara juga wajib menyiapkan mekanisme kompensasi cepat bagi korban dan keluarganya. “Ratusan anak yang dirawat butuh jaminan negara hadir, bukan hanya biaya medis tapi juga kepastian perlindungan. Kalau tidak, kepercayaan publik terhadap program unggulan pemerintah akan runtuh,” ujarnya.
Farid menegaskan, MBG sejatinya program baik untuk mengatasi gizi anak, tetapi tanpa eksekusi yang aman hanya menjadi bumerang. “Ketika dapur yang seharusnya jadi sumber kehidupan malah berubah jadi sumber malapetaka, maka hukum harus bicara. Jerat pidana, perdata, dan administratif bukan pilihan, melainkan keharusan untuk menegakkan keadilan,” pungkasnya. (*)