TAJDID.ID~Yogyakarta || Tim mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) berhasil meraih pendanaan riset dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen DiktiRistek) Kemendikbud Republik Indonesia, dalam ajang Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) 2025.
Keberhasilan ini menunjukan prestasi tinggi dari mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY.
Melalui penelitian berjudul “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual”, tim ini mengungkap bagaimana konten emosional di TikTok dapat memicu kesepian, krisis identitas, hingga kecanduan validasi digital, terutama di kalangan remaja urban.
“TikTok tidak lagi sekadar platform hiburan. Ia kini menjadi ruang konstruksi emosi dan identitas, yang jika tidak disertai literasi digital, bisa menjerumuskan pengguna ke dalam hiperrealitas yang penuh jebakan emosional,” ungkap Najwa salah satu anggota tim peneliti, pada Sabtu (9/8).
Penelitian ini menekankan bahwa remaja, sebagai pengguna dominan TikTok, rawan menginternalisasi konten emosional sebagai satu-satunya cara mengekspresikan diri dan mengatasi masalah pribadi. Akibatnya, interaksi sosial yang otentik di dunia nyata tergantikan oleh ekspektasi digital yang semu.
Didukung oleh temuan sebelumnya dari Cedrún & Civila (2024), riset ini juga mencatat bahwa paparan narasi emosional yang intens, seperti kesedihan, keterasingan, dan trauma, dapat berdampak negatif pada kesehatan mental pengguna. Efeknya mulai dari kecemasan, rasa insecure, hingga ketergantungan pada respons dunia maya berupa likes, komentar, dan views.
Berbeda dari riset sebelumnya yang hanya menyoroti aspek psikologis atau algoritma, tim UMY mencoba menghadirkan pendekatan baru dengan menggabungkan kajian literasi media digital dan teori hiperrealitas audiovisual.
“Melalui pendekatan ini, kami ingin memahami bagaimana pengguna membentuk, menafsirkan, dan merespons konten kesepian, serta bagaimana literasi kritis dapat menjadi tameng dari realitas palsu di ruang digital,” ujar ketua tim.
Tim peneliti juga merekomendasikan agar pendidikan literasi media digital diperkuat di lingkungan sekolah, kampus, hingga komunitas. Tujuannya agar pengguna, terutama remaja, mampu membedakan antara realitas dan konstruksi digital, serta lebih bijak dalam mengekspresikan emosi di ruang publik.
Penelitian ini diharapkan menjadi kontribusi akademik sekaligus sosial bagi upaya menciptakan ekosistem media digital yang sehat dan berempati, tanpa meninggalkan keaslian relasi antar manusia. (*)