Oleh: Farid Wajdi
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020
Ada yang berbeda di langit Indonesia menjelang HUT ke-80 kemerdekaan. Di antara bendera Merah Putih yang berkibar di tiang-tiang rumah dan jalanan, muncul satu bendera lain yang mencuri perhatian: kain hitam bergambar tengkorak bertopi jerami—simbol bajak laut dalam serial One Piece.
Di sejumlah kota dan desa, bendera ini dikibarkan dengan penuh kesadaran. Bukan karena lupa aturan, tapi justru sebagai bentuk ekspresi. Sebuah sindiran. Atau mungkin, sebuah seruan!
Bagi sebagian kalangan, tindakan ini tentu tak lebih dari lelucon, tren budaya pop yang kebetulan viral. Tapi bagi negara, bendera itu tampaknya lebih dari sekadar guyon. Pemerintah bereaksi cepat. Imbauan diluncurkan. Teguran dilayangkan. Bahkan ada suara dari elite politik yang menyebutnya “potensi ancaman persatuan.” Ada kekhawatiran bahwa di balik simbol tengkorak itu tersembunyi benih pemberontakan yang terorganisir.
Di era ketika makna bisa viral dalam hitungan menit, negara rupanya tak ingin lengah—walau hanya oleh selembar kain fiksi.
Namun yang menarik bukan hanya soal simbolnya, melainkan reaksi yang ditimbulkannya. Mengapa negara begitu reaktif terhadap satu bendera yang tak memiliki kekuatan hukum, apalagi kekuatan politik?
Jawabannya mungkin terletak pada satu hal: rasa tidak nyaman terhadap kritik yang tak terdefinisikan.
Di dunia One Piece, bendera bajak laut adalah lambang pembangkangan terhadap otoritas yang korup dan penuh ketidakadilan. Topi Jerami bukan simbol anarki, tapi mimpi bagi dunia yang lebih adil dan bebas.
Ketika bendera itu dikibarkan di dunia nyata, ia menyisipkan kritik yang halus namun tajam: bahwa ada yang keliru dalam cara negara memperlakukan rakyatnya; kemerdekaan yang dirayakan belum sepenuhnya merata maknanya.
Kritik yang datang lewat meme, lewat budaya pop, justru semakin sulit ditebak dan dikendalikan. Ia cair, jenaka, tapi punya nyala.
Dan dalam kasus ini, negara memilih untuk meresponsnya seperti merespons ancaman formal. Padahal yang dituntut bukan revolusi, melainkan ruang untuk menyampaikan suara.
Yang luput dari perhatian adalah pesan yang disampaikan rakyat lewat bendera itu: ekspresi dan perasaan mereka tak lagi menemukan tempat dalam bahasa formal negara.
Mereka tidak berteriak di jalan, tidak membuat petisi, tidak menulis kritik akademik. Mereka hanya mengibarkan simbol yang—dalam imajinasi kolektif mereka—lebih mewakili rasa keadilan daripada narasi resmi kenegaraan.
Justru di sanalah makna pentingnya. Di tengah krisis kepercayaan, kritik tak datang dalam bentuk dokumen panjang, tapi dalam pilihan simbol. Ketika rakyat mengibarkan bendera One Piece, mereka sebenarnya sedang bertanya: apakah negara ini masih milik bersama, atau hanya milik mereka yang duduk di kursi kekuasaan?
Alih-alih meredam dengan kekhawatiran berlebih, pemerintah seharusnya menjawabnya dengan introspeksi. Sebab tidak semua kritik datang dengan kemarahan. Kadang ia datang dengan tertawa, tapi dengan luka di dalam dada.
Karena itu, bendera bajak laut yang berkibar di tanah merdeka bukan ancaman, melainkan cuma cermin polos. Cermin yang menunjukkan bahkan di ulang tahunnya yang ke-80, republik ini masih harus menjawab pertanyaan paling mendasar dari rakyatnya: “Apakah suara kami masih didengar?”. (*)