• Setup menu at Appearance » Menus and assign menu to Top Bar Navigation
Senin, September 15, 2025
TAJDID.ID
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
      • LabMu
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
      • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • Catatan Hukum
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto
No Result
View All Result
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
      • LabMu
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
      • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • Catatan Hukum
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto
No Result
View All Result
tajdid.id
No Result
View All Result

Menulis untuk Mengabadi, Bukan Sekadar Meng-viral: Bukti Nyata Kader Muhammadiyah di Era Digital Bising

Nashrul Mu'minin by Nashrul Mu'minin
2025/07/27
in Muhammadiyah, Opini
0
Menulis untuk Mengabadi, Bukan Sekadar Meng-viral: Bukti Nyata Kader Muhammadiyah di Era Digital Bising
Bagikan di FacebookBagikan di TwitterBagikan di Whatsapp

Oleh: Nashrul Mu’minin

Content Writer Yogyakarta

 

Di era digital yang terus bergerak cepat, di mana segala hal dapat dibagikan, disukai, dan dilupakan dalam hitungan detik, menulis hadir sebagai tindakan perlawanan. Ia bukan sekadar sarana ekspresi, melainkan bentuk perawatan ingatan atas gagasan, perjuangan, dan nilai. Bagi saya, seorang kader Muhammadiyah yang menjadikan Ahad sebagai ladang produktifitas, menulis bukanlah aktivitas musiman atau impulsif—ia adalah napas kedua setelah zikir. Menulis menjadi ritual sunyi yang saya rawat setiap hari, bukan demi algoritma TikTok atau reels Instagram, tapi demi menjaga ruh intelektual yang kian langka di tengah jagat maya yang gaduh.

Setiap Ahad, saat kebanyakan orang memilih rehat, saya duduk dengan secangkir teh dan laptop yang menanti diketik. Tak ada target trending, tak ada ekspektasi viral. Yang ada hanyalah satu keyakinan: setiap paragraf yang saya lahirkan hari itu, adalah investasi intelektual.

Saya percaya, menulis bukan hanya mengikat ilmu seperti yang dikatakan Ali bin Abi Thalib, tapi juga menjadi jembatan antara ruh aktivisme dengan dakwah pencerahan. Inilah bentuk jihad literasi kader Muhammadiyah—senyap namun berdampak panjang.

Namun, realitas hari ini menunjukkan kesenjangan cukup mencolok antara aktivitas menulis dengan ekspektasi generasi digital. Banyak yang menulis bukan untuk menyuarakan nilai atau membangun gagasan, tapi semata-mata untuk “mendapatkan impresi”. Konten yang disukai adalah yang instan, sensasional, atau mengikuti tren tanpa refleksi.

Di tengah derasnya arus informasi yang tak lagi menyaring kualitas, keberadaan tulisan bermakna seperti sepi di padang konten. Inilah tantangan kader Muhammadiyah hari ini: bagaimana tetap berkarya secara mendalam, di dunia yang mengagungkan permukaan.

Media sosial, alih-alih menjadi ruang berbagi makna, sering berubah menjadi panggung kompetisi ego dan pencarian validasi. Algoritma memaksa pengguna menyesuaikan isi pikirannya dengan selera umum, bukan dengan nilai yang diyakini. Jika tidak hati-hati, kader pun bisa terjebak dalam produksi konten yang kosong makna, sekadar ikut arus agar eksis. Padahal, sejak awal Muhammadiyah didirikan, watak gerakannya adalah pencerahan: memanusiakan manusia dengan ilmu, membebaskan dari kebodohan, dan meneguhkan keadaban.

Solusi pertama dan paling utama adalah mengembalikan semangat literasi sebagai gerakan ke dalam tubuh kader muda Muhammadiyah. Menulis harus dipahami sebagai bentuk ibadah intelektual, bukan sekadar hobi. Saya percaya, kader yang produktif menulis setiap hari adalah yang mampu menakar dirinya, merefleksi zamannya, dan melawan lupa. Kita tidak boleh menunggu inspirasi datang untuk menulis; sebaliknya, dengan menulis rutin, kita menciptakan ruang inspirasi. Setiap pengalaman, setiap bacaan, bahkan setiap diskusi di masjid atau sekretariat bisa menjadi bahan bakar tulisan yang mengedukasi.

Tujuan dari menulis ini bukan sekadar publikasi atau pujian, tapi dokumentasi perjuangan. Muhammadiyah sudah terlalu lama melahirkan kerja nyata, namun sering luput dalam dokumentasi naratif. Tulisan-tulisan kader adalah arsip sejarah yang akan dibaca generasi mendatang. Bayangkan jika setiap Ahad, seluruh kader muda menulis satu refleksi atas apa yang mereka alami selama sepekan. Dalam setahun, kita punya ribuan naskah yang bisa jadi buku, blog, atau konten edukatif yang menyebarkan nilai Islam berkemajuan.

Implementasi dari ide ini sebenarnya sederhana namun butuh komitmen. Pertama, budaya menulis harus ditanamkan bukan hanya di level pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah, tetapi juga di semua tingkatan. Kegiatan menulis tidak harus menunggu momen besar atau lomba, tetapi menjadi bagian dari rutinitas organisasi: laporan kegiatan, refleksi usai kajian, atau narasi pengalaman dalam aksi sosial. Saya sendiri mempraktikkannya setiap hari dengan menulis minimal satu paragraf tentang apa yang saya pelajari atau alami. Dalam seminggu, saya bisa memiliki tujuh tulisan yang, jika dirawat, akan menjadi kumpulan cerita perjuangan kader.

Kedua, platform digital Muhammadiyah harus lebih akomodatif terhadap tulisan-tulisan kader. Portal resmi, akun media sosial, hingga buletin internal dapat menjadi rumah bagi tulisan yang tidak mencari viralitas, tapi menebar nilai. Ini akan menciptakan ekosistem literasi yang saling menguatkan. Kader akan tahu bahwa tulisan mereka dibaca bukan untuk dinilai bagus atau tidak, tetapi untuk dinikmati sebagai kontribusi pada gerakan.

Sayangnya, masih banyak kesenjangan dalam hal ini. Banyak kader muda yang potensial menulis namun merasa tidak cukup percaya diri. Mereka menganggap tulisannya kurang bagus atau tidak layak dipublikasikan. Padahal, literasi bukan soal indah tidaknya kata, tapi tentang jujur dan dalamnya isi. Belum lagi sebagian pimpinan di level akar rumput yang belum menganggap menulis sebagai bentuk kerja nyata gerakan. Akibatnya, kegiatan menulis masih terpinggirkan, kalah pamor dengan kegiatan seremonial atau event berbasis visual.

Kesenjangan lain terletak pada akses dan pelatihan. Tidak semua daerah memiliki mentor atau pembina literasi yang bisa membimbing kader. Maka diperlukan semacam pelatihan literasi daring berkala yang bisa diikuti kader dari seluruh penjuru Indonesia. Ini sekaligus memperkuat jaringan antarpenulis kader, menciptakan semacam “komunitas pena Muhammadiyah” yang tidak hanya menulis, tapi juga saling mengkritik dan menguatkan karya satu sama lain.

Menulis itu memang bukan jalan pintas. Ia adalah proses panjang, kadang membosankan, kadang melelahkan, tapi selalu mencerahkan. Di era ketika banyak orang mengejar kecepatan dan viralitas, saya memilih berjalan pelan, menulis satu demi satu ide, dan merawatnya seperti taman yang kelak akan berbunga. Sebab saya percaya, kader Muhammadiyah bukan ditakdirkan untuk menjadi pengejar algoritma, tapi penjaga nilai—dan menulis adalah alat utama untuk itu.

Maka biarlah dunia digital bergemuruh dengan tren yang datang dan pergi. Saya akan tetap menulis setiap Ahad dan hari-hari lainnya, bukan untuk menjadi terkenal, tapi untuk menjadi abadi dalam pemikiran. Sebab saya percaya, saat orang sibuk membuat sensasi dalam satu menit, saya memilih membuat narasi untuk satu generasi. Itulah bukti nyata saya sebagai kader Muhammadiyah: tidak sekadar aktif dalam gerakan, tapi juga konsisten dalam perawatan ingatan. (*)

Tags: Kader MuhammadiyahMenulis
Previous Post

Gelar Festival Film Paradok 2025, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY Buktikan Kampus Berdampak

Next Post

Ethics of Care: Trotoar Medan, Simbol Peradaban yang Terlupakan

Related Posts

Kaderisasi Muhammadiyah dalam Renungan

Kaderisasi Muhammadiyah dalam Renungan

24 Juli 2025
136
MPKSDI PDM Kota Medan Komit Cetak 1000 Kader Muhammadiyah 

MPKSDI PDM Kota Medan Komit Cetak 1000 Kader Muhammadiyah 

14 September 2024
188
Rekruitmen Kader Muhammadiyah Berbasis Jama’ah Masjid sebagai Solusi GJDJ

Rekruitmen Kader Muhammadiyah Berbasis Jama’ah Masjid sebagai Solusi GJDJ

14 Juli 2024
139
Busyro Muqoddas: Karakter Muhammadiyah itu Memberi, Tidak Meminta Apalagi Mengemis kepada Pemerintah

Busyro Usulkan untuk Copot Kader yang Sudah Tidak Sesuai dengan Misi Dakwah Muhammadiyah

25 Maret 2024
252
Diaspora Kader Muhammadiyah, Shohibul: Figur yang Diorbitkan Didasarkan Kriteria Ketat

Diaspora Kader Muhammadiyah, Shohibul: Figur yang Diorbitkan Didasarkan Kriteria Ketat

22 Desember 2023
219
Malam Refleksi HUT Ke-78 RI, Ketua PWM DKI Jakarta Ajak Kader Muhammadiyah Junjung Nilai Luhur Para Pahlawan

Malam Refleksi HUT Ke-78 RI, Ketua PWM DKI Jakarta Ajak Kader Muhammadiyah Junjung Nilai Luhur Para Pahlawan

18 Agustus 2023
150
Next Post
Ethics of Care: Trotoar Medan, Simbol Peradaban yang Terlupakan

Ethics of Care: Trotoar Medan, Simbol Peradaban yang Terlupakan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

TERDEPAN

  • Tiga Puisi Tentang Nabi Muhammad SAW Karya Taufiq Ismail

    Tiga Puisi Tentang Nabi Muhammad SAW Karya Taufiq Ismail

    50 shares
    Share 20 Tweet 13
  • Said Didu Ingin Belajar kepada Risma Bagaimana Cara Melapor ke Polisi Biar Cepat Ditindaklanjuti

    42 shares
    Share 17 Tweet 11
  • Din Syamsuddin: Kita Sedang Berhadapan dengan Kemungkaran yang Terorganisir

    39 shares
    Share 16 Tweet 10
  • Putuskan Sendiri Pembatalan Haji 2020, DPR Sebut Menag Tidak Tahu Undang-undang

    36 shares
    Share 14 Tweet 9
  • Kisah Dokter Ali Mohamed Zaki, Dipecat Usai Temukan Virus Corona

    36 shares
    Share 14 Tweet 9

© 2019 TAJDID.ID ~ Media Pembaruan & Pencerahan

Anjungan

  • Profil
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kirim Tulisan
  • Pasang Iklan

Follow Us

No Result
View All Result
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
      • LabMu
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
      • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • Catatan Hukum
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto

© 2019 TAJDID.ID ~ Media Pembaruan & Pencerahan

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In