Oleh: Nashrul Mu’minin
Content Writer Yogyakarta
ASEAN, organisasi yang kerap dibanggakan karena prinsip non-intervensinya dan semboyan “unity in diversity”, tengah menghadapi babak penting sekaligus memprihatinkan dalam sejarahnya. Dua isu besar, yakni krisis politik yang tak kunjung usai di Myanmar dan proses aksesi penuh Timor Leste, menjadi gambaran nyata bahwa ASEAN sedang menghadapi ujian konsistensi, relevansi, dan arah masa depan. Retaknya konsensus dan beragam interpretasi terhadap prinsip-prinsip pendirian organisasi ini menciptakan kegamangan dalam diplomasi kawasan.
Myanmar telah menjadi titik gelap dalam peta ASEAN sejak kudeta militer pada 1 Februari 2021. Rezim junta terus menebar represi terhadap rakyatnya, sementara ASEAN masih saja sibuk memainkan narasi “lima poin konsensus” yang seolah menjadi mantra penenang, padahal tak pernah sungguh-sungguh efektif. Sejak kudeta itu, lebih dari 4.000 orang dilaporkan tewas dan puluhan ribu lainnya dipenjara atau dipaksa mengungsi. Namun, ASEAN hanya mampu merespons lewat retorika lembut tanpa efek konkret. Ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana ASEAN benar-benar peduli terhadap hak asasi dan stabilitas kawasan?
Pengecualian Myanmar dari pertemuan tingkat tinggi ASEAN menjadi satu-satunya kebijakan keras yang diambil. Tapi, ini justru memperlihatkan dilema: apakah ASEAN ingin tetap inklusif dengan risiko menoleransi rezim represif, atau eksklusif dengan risiko mengabaikan prinsip kesatuan kawasan? Ironisnya, dengan segala kehati-hatian ASEAN terhadap isu Myanmar, muncul pula kritik dari masyarakat sipil bahwa pendekatan “tidak mencampuri urusan dalam negeri” telah menjadi alat pembenaran untuk menutup mata atas pelanggaran HAM terang-terangan. Dalam lanskap diplomatik yang modern dan global, netralitas seperti ini justru bisa disalahartikan sebagai sikap pasif dan tidak bertanggung jawab.
Di tengah krisis yang belum terurai di Myanmar, ASEAN harus mengatur langkah baru dengan kedatangan anggota barunya: Timor Leste. Negara kecil di ujung timur Nusantara ini telah resmi diterima sebagai anggota ke-11, meski masih dalam status pengamat hingga kini. Keputusan ini tentu membawa harapan sekaligus tantangan. Harapannya, Timor Leste bisa membawa energi baru, semangat demokrasi, dan potensi ekonomi segar ke dalam ASEAN. Namun, tantangannya tidak ringan—baik secara ekonomi, infrastruktur, maupun kemampuan birokratis, Timor Leste masih berada jauh di bawah standar rata-rata negara anggota ASEAN.
Dengan realitas itu, ASEAN perlu lebih dari sekadar gestur politik simbolik. Aksesi Timor Leste seharusnya menjadi titik tolak untuk melakukan reformasi internal: memperkuat mekanisme dukungan lintas negara, mengurangi ketimpangan anggota, dan membangun infrastruktur diplomatik yang lebih responsif. Tetapi jika tidak ada langkah serius untuk itu, maka keanggotaan Timor Leste dikhawatirkan hanya akan menjadi penambal reputasi ASEAN yang tengah tercoreng akibat kasus Myanmar.
Sementara itu, negara-negara besar seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura justru menunjukkan perbedaan sikap terkait penanganan Myanmar dan penerimaan Timor Leste. Alih-alih menyatukan kekuatan politik kawasan, ASEAN malah terjebak dalam tarik ulur kepentingan nasional masing-masing anggotanya. Tidak ada satu suara yang kuat untuk memimpin—tidak ada juga kesepakatan kolektif yang mampu menekan junta Myanmar atau membantu integrasi efektif Timor Leste. Hal ini menunjukkan bahwa ASEAN kini bukan hanya menghadapi krisis eksternal, tetapi juga krisis internal yang lebih dalam: kehilangan arah dan kompas moral.
ASEAN yang dulu dibentuk sebagai upaya menjaga perdamaian kawasan dan memperkuat ekonomi regional kini terancam berubah menjadi forum basa-basi yang hanya mempertemukan pemimpin tanpa keberanian mengambil tindakan tegas. Ketika konflik bersenjata dan krisis kemanusiaan di Myanmar berlangsung bertahun-tahun tanpa solusi konkret, dan ketika anggota baru seperti Timor Leste belum mendapat peta jalan yang jelas, maka ASEAN harus berani merefleksi ulang prinsip dasarnya.
Apakah ASEAN masih relevan sebagai organisasi kawasan yang mampu merespons dinamika geopolitik modern? Atau, ASEAN hanya tinggal nama—sebuah payung yang tak mampu lagi meneduhkan anggotanya dari badai konflik dan ketidakpastian?
Tantangan ini tak bisa diselesaikan dengan pernyataan pers, pidato normatif, atau pertemuan diplomatik yang penuh basa-basi. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mengakui kelemahan sendiri, keberanian untuk menegur sesama anggota, dan keberanian untuk menyusun ulang kontrak politik ASEAN dengan memasukkan nilai-nilai universal yang lebih kokoh—HAM, demokrasi, dan keadilan sosial.
Jika tidak, maka ASEAN akan terus menjadi organisasi yang berjalan tanpa arah, terjebak dalam politik konsensus yang membisu, dan kehilangan kepercayaan publik di kawasan. Myanmar adalah luka terbuka yang belum diobati. Timor Leste adalah peluang yang belum dikelola. Dan ASEAN adalah tubuh tua yang harus segera berbenah atau perlahan dilupakan. (*)