TAJDID.ID~Medan || Keputusan mengubah bekas Pasar Aksara yang dulunya ramai oleh pedagang kecil menjadi kafe mewah seluas sekitar 4.000 m² memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan. Pasalnya, lokasi ini adalah aset publik yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat luas—bukan untuk bisnis elite.
Ethics of Care mengungkapkan, yang bikin publik makin heran adalah tidak ada informasi transparan soal penyewaan lahan ini. “Berapa nilai sewanya? Siapa penyewanya? Semua serba gelap. Eks Pasar Aksara seperti berada di titik buta (blind spot),” ujar Farid Wajdi, Founder Ethics of Care, Rabu (11/6).
“Ditambah lagi, alih fungsi ini justru menjauh dari semangat Pasar Aksara lama yang dikenal sebagai ruang ekonomi rakyat. Kini, justru tampil eksklusif, jauh dari jangkauan masyarakat bawah,” imbuhnya.
Lanjut Farid, tak sedikit yang curiga, ini bukan sekadar proyek bisnis biasa. Ada dugaan kuat bahwa ini bagian dari skenario yang sarat “kepentingan tersembunyi”. Apalagi prosesnya dinilai top-down—diputuskan sepihak tanpa konsultasi atau diskusi publik. “Wajar jika pertanyaan besar bermunculan: siapa yang sebenarnya diuntungkan?” kata Farid.
Ethics of Care menyebut,
isu utama yang disorot publik adalah minimnya transparansi: mulai dari mekanisme penyewaan, harga, sampai siapa penyewa yang beruntung mendapat lahan strategis tersebut. Banyak yang menilai, ini bentuk nyata dari “pengalihan aset publik secara diam-diam”, bahkan ada yang menyebutnya sebagai bentuk ‘penjarahan modern’.
Sorotan makin tajam ketika muncul dugaan ketiadaan izin mendirikan bangunan (IMB atau PBG), potensi keterlibatan oknum pejabat, hingga risiko kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD). Karena itu tak heran desakan kepada aparat penegak hukum pun bermunculan, agar dugaan pelanggaran ini diselidiki serius dan terbuka.
Merespons kekisruhan ini, kata Farid, DPRD Kota Medan pun perlu segera memanggil Wali Kota dan Direksi PUD Pasar Medan untuk dimintai penjelasan resmi. Publik menuntut kejelasan—dari siapa penyewa, berapa nilai sewa, hingga bagaimana mekanisme kerja samanya.
Ethics of Care menilai, kasus ini bukan sekadar soal bangunan berubah rupa. Ia menyentil hal yang lebih dalam: tentang hak publik atas ruang, soal keadilan sosial, dan pentingnya akuntabilitas dalam pengelolaan aset milik bersama. “Publik berharap, jika ada pelanggaran hukum, semua pihak yang terlibat bisa ditindak tegas—tanpa pandang bulu,” tegas Farid. (*).