TAJDID.ID~Jakarta || Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra menilai Bharada E telah menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan dari atasannya dalam kasus pembunuhan Brigadir J yang sekarang persidangannya tengah berlangsung.
“Memperhatikan sepanjang fakta persidangan Bharada E, jelas posisinya adalah sebagai korban penyalahgunaan kekuasaan (victims of abuse of power),” ujar Azmi melalui keterangan tertulis, Senin (19/12/20224).
“Karena jelas berdasarkan keadaan dan pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di persidangan bahwa dirinya sebagai tumbal, orang yang terintimidasi. Sehingga sangat tidak adil baginya dan semestinya tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku, karena sebenarnya dalam skenarionya ia hanya dijadikan bamper atau tumbal kejahatan atasannya,” imbuhnya.
Azmi mengatakan, Bharada E tidak punya keinginan untuk melakukan perbuatan membunuh Brigadir Josua, mengingat kehendak dan perintah membunuh tersebut berasal dari luar diri Bharada E.
“Sangat jelas terlihat posisi Bharada E terdapat hubungan subordinasi yang tidak seimbang, karena dominasi dari pemberi perintah dalam hal ini kedudukan pelaku utama yang juga sebagai perwira tinggi. Tentunya sebagai bawahan tidak berani membantah atasan, secara dalam praktiknya jika bawahan sudah mendapat perintah dari atasan pasti bawahan merasa harus patuh dan yakin serta aman dilindungi,” jelas Azmi.
Karenanya, melihat fakta ini, Azmi menilai Bharad E hanyalah sebagai korban yang terdapat adanya ancaman baik fisik dan psikis dari atasannya dan ia akan dijadikan seolah sebagai pelaku utama.
Dan justru, kata Azmi kini malah Bharad E menempati posisi kunci, sebab dari keterangannya pulalah dapat mengungkap dan menemukan kejelasan tentang kasus pembunuhan Brigadir J menjadi terang, termasuk menemukan para pelaku utamanya.
“Karenanya atas perannya tersebut berhak atas dirinya memperoleh keadilan,” tegas Azmi.
“Fakta dan perannya tersebut harus menjadi pertimbangan hakim maupun penuntut untuk melihat peran penting Bharada E untuk menemukan alasan penghapusan pidana atau dasar hukum yang meringankan bagi Bharada E,” tambahnya.

Azmi menegaskan, hukum itu mengenal asas accesoriumnon ducit, sed sequitur, suum principale yang artinya pelaku pembantu itu tidaklah memimpin, melainkan mengikuti pelaku utamanya. Sehingga dari kasus ini, kata Azmi, karena ketidaktahuannya dan ia tidak ikut aktif dalam skenario pembunuhan Brigadir Josua, semestinya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban hukum.
“Namun pertanggungjawaban hukumnya diminta harus dibebankan kepada pihak yang memberi perintah, sebagai aktor yang paling dominan tersebutlah yang memiliki motivasi kuat yang mempengaruhi motif dalam perbuatannya,” ujar Azmi.
Menurut Azmi, dari fase persidangan ini pula dapat dibuktikan faktanya dan berkesesuaian buktinya bahwa Bharada E melakukan perbuatan tersebut dalam keadaan paksaan yang tertekan psikisnya sekaligus demi menjalankan perintah atasannya yang dikategorikan sebagai korban penyalahgunaan kekuasaan.
Sehingga sepanjang Bharada E tidak punya alternatif lain untuk tidak menuruti perintah atasannya tersebut, maka dalam hukum pidana hal ini dapat diakui sebagai keadaan alasan pembenar maupun alasan pemaaf termasuk hilangnya sifat melawan hukum.
“Kenyataan adanya keadaan tertentu inilah yang tidak terbantahkan ,tentu hal ini dapat menjadi poin dalam keseimbangan keadilan (balancing justice),” kata Azmi.
“Fakta dan keadaan ini tentunya menguntungkan bagi pembelaannya sebagai alasan penghapusan pidana yang sekaligus bisa menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam membuat putusan nantinya karena posisinya sebagai korban kejahatan pidana,” tutup Azmi. (*)