Jufri
Pemerhati Sosial dan Politik
Kalimat ini terdengar getir, tapi itulah potret yang kian sering kita saksikan. Dalam banyak urusan publik, ijazah, pendidikan, hukum, peraturan, hingga undang-undang, rakyat kerap diposisikan cukup tahu hasil, tak perlu memahami proses. Ketika bertanya, jawabannya singkat dan final: sudah sesuai aturan. Aturan siapa, disusun untuk siapa, dan demi kepentingan siapa, tak penting untuk dijelaskan.
Kebingungan itu bukan kebetulan. Bahasa hukum dibuat rumit, sosialisasi minim, pendidikan publik diabaikan. Akibatnya, rakyat mudah disalahkan karena dianggap tak paham, padahal ketidaktahuan itu dipelihara. Pohon dan tidak pohon bisa berubah makna, tergantung siapa yang berbicara. Hukum tampak lentur ke atas, kaku ke bawah.
Ironi itu makin terasa saat bencana datang. Kayu gelondongan menghantam rumah rakyat, longsor merusak kampung, namun rakyat justru dilarang memanfaatkan kayu yang menghancurkan hidup mereka. Kayu itu tiba-tiba menjadi barang terlarang. Sementara pertanyaan paling mendasar tak pernah ditelusuri: siapa yang menebang, mengapa hutan rusak, dan siapa yang harus bertanggung jawab. Yang diawasi korban, yang menyebabkan bencana justru bebas dari tanya.
Dalam situasi seperti ini, kebodohan menjadi aman. Tidak bertanya, tidak menuntut, tidak berpikir kritis. Sebab rakyat yang paham akan bertanya, dan pertanyaan selalu merepotkan kekuasaan. Maka kebodohan bukan lagi soal individu, melainkan cara kerja sistem yang lebih nyaman berjalan dalam gelap.
Padahal, dalam pandangan moral dan agama, pengetahuan adalah amanah. Hukum seharusnya melindungi yang lemah, bukan menambah beban mereka yang sudah tertimpa musibah. Jika rakyat terus dibiarkan bodoh, yang mati bukan hanya akal sehat, tetapi juga keadilan.
Maka benar, tetaplah bodoh, jangan pintar, jika yang dicari hanyalah aman tanpa suara.
Namun jika nurani masih hidup, kepintaran memang berisiko. Tapi hanya dengan itulah kebenaran bisa dijaga, dan hukum kembali menemukan maknanya sebagai jalan keadilan, bukan sekadar alat pelarangan. (*)







