Karya: Indra Perwira & Azmi Syahputra
Titik Nol
Di ujung sungai, samudera terbentang, Di ujung pelangi, biduk tak sampai
Di ujung jalan, tiada lagi tempat untuk dilalui.
Di etape terakhir, segala riuh terhenti.
Di sini.
Di hulu yang telah jauh,
Dan di hilir yang kini menyentuh.
Ternyata, Jalan buntu adalah cara Tuhan menyapa.
Memaksaku berhenti menatap ke depan,
Agar aku mendongak menatap ke atas.
Bahwa ketiadaan jalan itu, Bukanlah akhir dari petualangan.
Melainkan awal dari perjalanan panjang, pulang kampung.
Maka sujudlah. Sebab di tempat langkah kakimu terhenti, Di situlah perjalanan hatimu tenang menjadi abadi.
Epilog: Sebuah Kepulangan
(Melanjutkan resonansi rasa Guruanda Indra Perwira)
Ternyata, Nol bukanlah kosong.
Nol merupakan bulat yang utuh.
Tempat segala riuh kembali menjadi hening.
Tempat segala angkuh luruh menjadi bening.
Di titik kerinduan sujud itu, Kau temukan pintu rahasia yang tak berengsel. Yang selama ini tertutup oleh ambisi dan kompetisi,
Terkunci oleh lari yang tak pasti.
Kini kau mengerti, bahwa “Pulang Kampung” itu niscaya dan pasti.
Ia hanya butuh hati yang ikhlas melepaskan,
Melepas beban di pundak,
Melucuti jubah keakuan, Melepas gelar yang sesak.
Bangkitlah dari sujudmu.
Dunia masih sama, tapi mata dan hati cerahmu kini berbeda.
Kau tidak lagi berjalan untuk mengejar bayang-bayang.
Kau berjalan, membawa hikmah dan nyalakan cahaya dari Kampung Halaman.
Tenang. Kau hamba yang dikehendaki, dan tak lagi hilang.
Risalah Diri: Menuju Mata Air
Di Titik Nol ini, tak cukup hanya berhenti.
Ia menuntut sadar, tahu diri, dan penerimaan.
Bahwa hidup adalah naskah indah yang harus ditata dengan syukur.
Ingatlah, Kau adalah manusia yang dimuliakan.
Terpilih. Dikehendaki. Bukan tercipta sia-sia, tapi dibekali akal dan hati.
Adab menjadi mahkota. Agar langkahmu tahu batas, tenang, rendah hati, Dan tak kehilangan arah dalam melaju.”
Maka, jadilah murid yang setia bagi kehidupan.
Kupas dan patahkan egomu, Hingga kau temukan diri insan sejati.
Tugasmu kini, Tebar kebaikan di mana pun berpijak,
Tanam kedamaian di mana pun tegak.
Waspadalah, Jaga Diri, Jangan tergelincir pada kepentingan sesaat.
Sebab siapa yang lupa diri, akan lupa pada kemanusiaannya.
Kita ibarat air sungai yang telah mengalir jauh, Meliuk-liuk ditempa perjalanan, Namun jangan sampai keruh dan lupa tujuan. Karena sejauh apa pun kita pergi, Takdir air adalah kembali… Menuju jernihnya Mata Air.
Catatan Penulis
“ JEJAK SANAD RASA” Indra Perwira & Azmi Syahputra
Indra Perwira dan Azmi Syahputra, 3 Mata Rantai Puisi ini, berawal dari percikan “rumput kering” keresahan Gurunda Indra Perwira, tersusunlah naskah ini sebagai pengikat makna. Sebuah Trilogi Kesadaran yang dirangkai menjadi mata rantai perjalanan spiritual yang utuh. Ia bergerak dari heningnya Titik Nol (keterbatasan manusia), lalu bersujud dalam Epilog Kepulangan (kepasrahan pada Allah), hingga akhirnya bangkit menata Risalah Diri (tugas kemanusiaan dan adab). Inilah narasi tentang transformasi: dari kebingungan yang membelenggu, menuju sujud yang membebaskan, hingga lahir kembali menjadi manusia yang lebih baik.


