TAJDID.ID~Surakarta || Nama Babay Farid Wazdi ikut disebut dalam perkara pemberian kredit kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Namun, uraian dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum justru menunjukkan bahwa Babay tidak terlibat dalam rekayasa laporan keuangan maupun penggunaan invoice fiktif sebagaimana menjadi pokok perkara.
Mantan Direktur Kredit UMK dan Usaha Syariah PT Bank DKI itu menegaskan bahwa dirinya tidak pernah terlibat dalam manipulasi data atau rekayasa laporan keuangan Sritex. Ia menyatakan seluruh proses persetujuan kredit dilakukan melalui mekanisme internal bank yang berlapis dan bersifat kolektif, bukan keputusan personal.
Hal tersebut disampaikan Babay kepada media menanggapi dakwaan Kejaksaan Negeri Surakarta terkait pemberian fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) kepada Sritex senilai Rp150 miliar pada tahun 2020.
Dalam surat dakwaan, Babay didakwa bersama sejumlah pihak lain. Namun, dakwaan tersebut menguraikan bahwa proses pemberian kredit melibatkan berbagai unit kerja di Bank DKI, mulai dari analis bisnis, analis risiko, kepatuhan, hingga legal, sebelum akhirnya diputuskan secara kolektif melalui Komite Kredit Kategori A2.
Saat itu, Babay menjabat sebagai Direktur Kredit UMK sekaligus merangkap Direktur Keuangan Bank DKI dan merupakan salah satu dari tiga anggota Komite Kredit A2. Dua anggota lainnya adalah Direktur Utama serta Direktur Teknologi dan Operasional. Dengan struktur tersebut, keputusan persetujuan kredit bukan kewenangan tunggal Babay, melainkan hasil rapat kolektif berdasarkan dokumen analisa yang disusun unit teknis.
Dakwaan juga menyebutkan bahwa analisa bisnis dan analisa kredit Sritex dilakukan oleh Grup Kredit Menengah dan Grup Risiko Kredit. Hasil analisa dituangkan dalam Memorandum Bisnis Kredit (MBK) dan Memorandum Analisa Kredit (MAK) yang menyimpulkan plafon kredit Rp150 miliar masih berada di bawah batas maksimum kebutuhan modal kerja Sritex yang dihitung mencapai lebih dari Rp351 miliar.
Sementara itu, laporan keuangan yang belakangan diketahui direkayasa disebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab internal PT Sritex. Rekayasa dilakukan oleh jajaran direksi dan staf keuangan perusahaan dengan tujuan mempercantik kinerja agar tetap terlihat sehat di mata publik dan kreditur. Dalam dakwaan tidak ditemukan satu pun uraian yang menyebut keterlibatan Babay dalam penyusunan atau modifikasi laporan keuangan tersebut.
Fakta lain dalam dakwaan menunjukkan bahwa Bank DKI telah menjalankan prosedur kehati-hatian secara administratif. Review kepatuhan dilakukan oleh Grup Kepatuhan dan review legal oleh Grup Hukum. Dalam review tersebut memang dicatat bahwa Sritex tidak memenuhi kriteria Debitur Prima karena tidak memiliki rating investment grade.
Catatan risiko tersebut dicantumkan secara terbuka dalam dokumen pengusulan kredit dan menjadi dasar permintaan persetujuan khusus kepada Komite Kredit A2, bukan disembunyikan. Hal ini menunjukkan tidak adanya manipulasi status debitur dalam dokumen resmi bank.
Dalam konteks tersebut, posisi Babay lebih tepat dipahami sebagai pejabat bank yang menjalankan fungsi struktural dalam sistem pengambilan keputusan kolektif dengan mengandalkan hasil analisa teknis dari unit terkait.
Dakwaan juga menguraikan bahwa pelanggaran utama berupa rekayasa laporan keuangan dan invoice sepenuhnya dilakukan oleh pihak Sritex, jauh sebelum kredit dicairkan. Kerugian negara yang dihitung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp180,28 miliar dikaitkan dengan kegagalan pembayaran kredit oleh Sritex, bukan dengan adanya aliran dana kepada Babay.
Dalam dakwaan tidak ditemukan uraian mengenai keuntungan pribadi yang diterima Babay dari fasilitas kredit tersebut. Sidang perkara ini masih berlanjut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Semarang.
Kuasa hukum Babay menyatakan akan membuktikan bahwa kliennya telah bekerja sesuai prosedur perbankan dan tidak memiliki niat jahat maupun peran aktif dalam perbuatan melawan hukum sebagaimana didakwakan. (*)
✒️ MSH


