Oleh: Jufri
Ketua PD Muhammadiyah Kota Tebing Tinggi
Negara memilih kalimat yang tegas di tengah bencana: Indonesia mampu menangani musibah di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat tanpa bantuan asing. Pernyataan itu terdengar meyakinkan. Ia menenangkan di tingkat wacana. Namun bencana tidak hidup di wacana. Ia hidup di rumah-rumah yang terendam, di jalan yang terputus, dan di tubuh warga yang menunggu terlalu lama.
Hari-hari pascabencana di tiga provinsi itu berjalan lambat. Di banyak wilayah, listrik belum kembali menyala. Air bersih menjadi barang langka. Layanan kesehatan tersendat, sekolah terhenti, dan aktivitas ekonomi lumpuh. Warga bertahan dengan logistik seadanya, dibantu relawan lokal yang bergerak lebih cepat dari mekanisme resmi negara. Koordinasi ada, tetapi eksekusi kerap tertinggal.
Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat bukan wilayah asing bagi bencana. Sejarah panjang gempa, banjir, dan longsor seharusnya membentuk sistem penanganan yang matang. Namun pola lama terus berulang: pendataan lambat, distribusi bantuan tersendat, dan komunikasi publik yang lebih sibuk menjaga citra ketimbang menjelaskan kenyataan apa adanya.
Dalam konteks inilah penolakan bantuan asing menjadi problematis. Kemandirian negara tidak seharusnya diukur dari keberanian berkata tidak, melainkan dari kecepatan menyelamatkan warga. Kerja sama kemanusiaan tidak pernah mengurangi kedaulatan. Banyak negara kuat justru memperlihatkan kebesaran dengan membuka pintu bantuan, tanpa kehilangan kendali dan martabat.
Di lapangan, batas provinsi tak berarti apa-apa bagi korban. Air yang merendam rumah di Aceh sama dinginnya dengan yang menggenangi kampung-kampung di Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Rasa takut, lapar, dan cemas juga serupa. Yang berbeda hanyalah seberapa cepat negara hadir untuk memastikan penderitaan itu tidak berlarut.
Di tenda-tenda pengungsian yang pengap, rakyat masih menggenggam keyakinan pada negara. Mereka menyebut nama Indonesia dengan suara pelan, sambil menunggu air bersih, sambil menggendong anak yang demam, sambil berharap listrik kembali menyala. Tidak ada tuntutan berlebihan, yang ada doa. Tidak ada kemarahan terbuka, yang ada harapan sederhana: negara jangan pergi. Mereka mencintai Presidennya, menyebut nama Prabowo bukan sebagai simbol kekuasaan, melainkan sebagai sandaran terakhir—bahwa negara akan turun tangan sepenuhnya, tanpa ragu dan tanpa gengsi.
Presiden Prabowo patut menerima ini sebagai peringatan yang lahir dari kesetiaan, bukan dari sikap memusuhi. Rakyat tidak menuntut negara tampak perkasa di hadapan dunia, mereka hanya ingin negara hadir lebih cepat di hadapan penderitaan. Jika klaim kemandirian terus diucapkan sementara di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat warga masih menunggu listrik, air bersih, dan layanan kesehatan yang layak, maka yang tergerus bukanlah martabat bangsa di mata asing, melainkan kepercayaan rakyat kepada negara sendiri.
Kita mencintai Prabowo, dan justru karena cinta itulah Indonesia harus diingatkan. Dalam bencana, kebesaran negara tidak diukur dari keberanian menolak bantuan, melainkan dari kesediaan menyelamatkan nyawa—tanpa menunda, tanpa gengsi, dan tanpa menjadikan penderitaan rakyat sebagai panggung pernyataan. (*)
Silaturahmi Kolaborasi Sinergi Harmoni








