“Ini bukan lagi sekadar bencana alam. Yang kita hadapi sekarang adalah krisis kemanusiaan terbuka, di mana keselamatan warga dipertaruhkan,” ujar Farid Wajdi
TAJDID.ID~Medan || Banjir dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera dinilai telah berkembang menjadi krisis kemanusiaan serius. Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menyebut lambannya respons negara dan minimnya kepemimpinan darurat memperparah penderitaan ribuan warga terdampak.
“Ini bukan lagi sekadar bencana alam. Yang kita hadapi sekarang adalah krisis kemanusiaan terbuka, di mana keselamatan warga dipertaruhkan,” ujar Farid Wajdi kepada Kamus, Kamis (18/12/2025).
Menurut Farid, hampir tiga pekan pascahujan ekstrem yang memicu banjir dan longsor, banyak wilayah masih berada dalam kondisi darurat. Akses desa terputus, distribusi logistik tersendat, layanan kesehatan terbatas, dan pengungsi hidup dalam ketidakpastian.
“Di banyak titik, warga bertahan hidup bukan karena sistem negara yang sigap, tetapi karena dapur umum swadaya dan solidaritas lokal. Ini menunjukkan kegagalan koordinasi penanganan bencana,” kata Anggota Komisi Yudisial periode 2015–2020 itu.
Farid juga menyoroti keputusan pemerintah yang menolak tawaran bantuan internasional. Menurutnya, alasan kedaulatan dan kemampuan nasional tidak relevan ketika kapasitas penanganan di lapangan terbukti tidak memadai.
“Menolak bantuan asing dalam situasi darurat berskala luas bukan simbol kemandirian, melainkan keputusan politis yang mahal. Biayanya dibayar oleh korban melalui evakuasi yang terlambat, layanan medis yang minim, dan logistik yang tidak merata,” tegas Ketua Majelis Hukum dan HAM PW Muhammadiyah Sumut ini.
Lebih jauh, Farid menilai bencana di Sumatera tidak dapat dilepaskan dari kerusakan ekologis yang berlangsung lama akibat kebijakan pembangunan. Deforestasi, alih fungsi lahan basah, penyempitan sungai, serta ekspansi pertambangan dan perkebunan disebutnya sebagai faktor utama yang memperbesar risiko bencana.
“Alam diperlakukan sebagai objek eksploitasi. Ketika ia tak lagi mampu menahan beban, justru alam yang disalahkan. Padahal banjir dan longsor adalah akibat langsung dari pilihan kebijakan,” ujarnya.
Ia menambahkan, kelompok paling terdampak dalam bencana ini adalah masyarakat rentan seperti petani kecil, masyarakat adat, perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas. Ketimpangan sosial, kata Farid, membuat mereka paling lambat menerima bantuan.
“Korban bencana tidak pernah netral. Mereka yang hidup dalam keterbatasan ruang dan pilihan selalu menjadi yang paling menderita,” katanya.
Farid menilai lemahnya kepemimpinan darurat terlihat dari penanganan yang terfragmentasi, data korban yang tidak sinkron, serta lambannya pengambilan keputusan di tingkat pusat dan daerah.
“Negara tampak aktif dalam narasi, tetapi pasif dalam praktik. Di lapangan, empati warga sering bekerja lebih cepat daripada birokrasi,” ujarnya.
Ia mengingatkan, selama bencana terus dipahami sebagai peristiwa alam semata dan bukan sebagai konsekuensi kebijakan pembangunan, tragedi serupa akan terus berulang.
“Sumatera hari ini adalah cermin retak dari model pembangunan yang mengorbankan ekologi dan manusia. Jika negara tidak belajar, setiap hujan lebat berikutnya akan kembali membawa korban,” pungkas Farid. (*)








