TAJDID.ID~Medan || TAJDID, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara (LHKP PWM Sumut), Shohibul Anshor Siregar, menilai negara menunjukkan legal indifference atau sikap abai yang disengaja terhadap hak-hak masyarakat adat.
Sikap ini, menurutnya, bukan sekadar kelemahan administrasi, melainkan pilihan politik yang berulang dan sistematis.
“Ini bukan kekosongan hukum, tetapi pengosongan keberpihakan,” ujar Siregar dalam paparannya dalam forum diskusi yang diselenggarakan oleh FORMADANA di Medan, Senin (14/12).
Ia memaparkan bagaimana pengakuan konstitusional terhadap masyarakat adat berhenti sebagai teks tanpa perlindungan nyata di lapangan .
Siregar menegaskan bahwa berbagai regulasi sektoral—mulai dari kehutanan, pertambangan, hingga tata ruang—secara konsisten menempatkan masyarakat adat sebagai penghalang pembangunan.
Negara, katanya, lebih memilih menjadikan hukum sebagai alat legitimasi perampasan ruang hidup ketimbang instrumen keadilan.
“Pengakuan adat selalu bersyarat, selalu menunggu verifikasi birokrasi yang tak pernah selesai.
Sementara izin korporasi berjalan cepat, masif, dan dilindungi aparat,” kata Siregar.
Inti paparannya menunjukkan bahwa mekanisme pengakuan masyarakat adat justru dirancang berbelit, menciptakan jebakan administratif yang pada akhirnya menggugurkan klaim hak ulayat.
Dalam praktiknya, negara hadir kuat untuk investasi, tetapi melemah saat warga adat menuntut keadilan.
Siregar menilai situasi ini berbahaya bagi masa depan demokrasi dan ekologi.
Menurutnya, konflik agraria, deforestasi, hingga bencana ekologis di Sumatera dan wilayah lain tidak bisa dilepaskan dari penyingkiran masyarakat adat dari tanah leluhurnya.
“Ketika adat disingkirkan, yang runtuh bukan hanya budaya, tetapi sistem penjaga alam.
Negara sedang menyiapkan krisis jangka panjang,” ujarnya.
Ia juga mengkritik absennya kemauan politik untuk meloloskan undang-undang perlindungan masyarakat adat yang kuat dan operasional.
Tanpa itu, kata Siregar, hukum akan terus menjadi bahasa elite, bukan alat pembebasan rakyat.
“Jika negara terus berpura-pura netral, sesungguhnya ia sedang berpihak. Dan keberpihakan itu jelas: kepada modal, bukan kepada warga adat. Karena itu revitalisasi nilai dan organisasi masyarakat Adat terasa sekali sebagai keniscayaan tak terelakkan,” tegasnya. (*)







