TAJDID.ID~Medan || Rangkaian banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa pekan terakhir menyingkap lemahnya kesiapsiagaan dan koordinasi penanganan bencana di tingkat negara. Hal itu disampaikan Farid Wajdi, Founder Ethics of Care sekaligus Anggota Komisi Yudisial periode 2015–2020, saat dimintai keterangan, Senin (15/12).
Menurut Farid, dampak bencana yang dipicu hujan ekstrem tersebut tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur, tetapi juga memperlihatkan kegagalan struktural dalam sistem perlindungan warga. “Setiap korban adalah tragedi nyata, bukan sekadar angka statistik. Yang terjadi di Sumatera menunjukkan kesiapsiagaan yang belum memadai menghadapi pola monsun dan siklon tahunan,” ujarnya.
Ia memaparkan, di sejumlah wilayah Aceh akses bantuan terputus akibat longsor yang menutup jalan utama. Di Sumatera Utara, ratusan rumah rusak dan ribuan warga masih bertahan di tenda darurat dengan sanitasi terbatas. Sementara di Sumatera Barat, banjir merusak jaringan listrik, air bersih, dan fasilitas kesehatan. “Pola yang sama terlihat: pendataan korban terlambat, koordinasi tidak solid, dan distribusi bantuan tidak merata,” kata Farid.
Farid menyoroti klaim pemerintah pusat yang menyebut kondisi membaik seiring menurunnya jumlah pengungsi. Menurutnya, banyak warga kembali ke rumah bukan karena aman, melainkan terpaksa akibat tekanan ekonomi dan ketiadaan pilihan. “Penurunan angka pengungsi tidak bisa dibaca sebagai keberhasilan jika warga pulang sebelum kondisi benar-benar layak,” tegasnya.
Terkait distribusi bantuan, Farid menyebut kerusakan jembatan dan akses jalan membuat logistik tersendat di banyak titik. Bantuan tunai, kata dia, belum menjawab kebutuhan mendesak seperti hunian layak, layanan kesehatan, dukungan psikologis, dan pemulihan jangka panjang. “Ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan kegagalan sistemik,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan risiko krisis kesehatan di lokasi pengungsian. Peningkatan kasus demam, diare, infeksi kulit, hingga tuberkulosis terjadi di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan yang turut terdampak bencana. “Alam menghantam pertama, birokrasi yang lamban menghantam kedua,” katanya.
Soal pemulihan, Farid menilai rencana rekonstruksi belum sebanding dengan skala kerusakan. Janji pembangunan rumah bagi korban masih jauh dari kebutuhan riil, sementara estimasi anggaran rekonstruksi mencapai puluhan triliun rupiah. “Keterlambatan penetapan status bencana nasional turut memperlambat mobilisasi anggaran dan koordinasi lintas kementerian,” tambahnya.
Farid menegaskan, bencana di Sumatera harus dibaca sebagai ujian kepemimpinan dan tata kelola, bukan peristiwa sesaat. “Pemerintah perlu berhenti berfokus pada statistik dan mulai memastikan kesiapsiagaan sejati, tata kelola profesional, serta prioritas nyata bagi warga terdampak. Korban manusia bukan angka, dan respons lamban bukan kesalahan teknis, melainkan kegagalan moral,” pungkasnya. (*)








