Oleh: M. Risfan Sihaloho
Ada sesuatu yang menggelitik—sekaligus mengusik—dalam konstelasi kehidupan berbangsa kita hari ini: yakni fenomena kebisingan rakyat. Di satu sisi, rakyat makin gemar berisik. Di sisi lain, negara dan para penguasa justru merindukan keheningan. Pertanyaannya sederhana, tapi menggigit: mengapa rakyat memilih bising, sementara penguasa menghendaki diam?
Jawabannya barangkali tak serumit teori politik. Rakyat berisik bukan karena gemar ribut, melainkan karena diam tak lagi didengar. Ketika kanal resmi penyaluran aspirasi tersumbat, parlemen terasa jauh, dan wakil rakyat lebih sibuk mengurus citra ketimbang suara konstituen, rakyat pun mencari panggungnya sendiri. Media sosial menjadi alun-alun baru. Timeline berubah menjadi mimbar. Kolom komentar menjelma ruang sidang rakyat.
Di era ini, rakyat tak lagi terlalu peduli apakah wakilnya di parlemen bekerja sungguh-sungguh atau sekadar hadir untuk absen. Aspirasi tak lagi menunggu rapat dengar pendapat. Ia meledak dalam bentuk cuitan, unggahan, meme, satire, hingga kemarahan kolektif.
Rakyat berisik karena kesewenang-wenangan. Berisik karena kekecewaan. Berisik karena ketidakadilan yang telanjang di depan mata. Berisik karena ironi dan anomali terus menyembul tanpa rasa malu.
Ironisnya, justru keberisikan inilah yang paling dibenci penguasa. Negara—atau lebih tepatnya mereka yang mengatasnamakan negara—selalu punya alergi terhadap suara keras rakyat. Mereka lebih menyukai masyarakat yang patuh, jinak, dan teratur. Rakyat ideal versi penguasa adalah rakyat yang diam, menerima, dan tak banyak tanya. Hening adalah vibes favorit kekuasaan.
Keberisikan rakyat membuat telinga penguasa memerah. Bukan karena suaranya terlalu keras, melainkan karena kebenaran sering datang tanpa undangan dan tanpa basa-basi. Kritik dianggap gaduh. Protes dicap mengganggu stabilitas. Perbedaan pendapat dituduh merusak persatuan. Dalam logika ini, kebisingan selalu salah—meski lahir dari ketidakadilan yang nyata.
Padahal, dalam negara yang sehat, kebisingan rakyat bukan ancaman, melainkan alarm. Ia menandakan ada yang keliru dalam pengelolaan kekuasaan. Rakyat yang berisik adalah gejala, bukan penyebab masalah. Yang patut dicurigai justru negara yang terlalu senyap—karena bisa jadi kesunyian itu lahir dari ketakutan, pembungkaman, atau kelelahan kolektif.
Sesungguhnya, jika penguasa menjalankan amanah dengan jujur, adil, dan berpihak pada kepentingan publik, tak ada alasan bagi rakyat untuk merecoki mereka. Rakyat tak punya hobi bawaan untuk berisik. Mereka hanya ingin hidup layak, diperlakukan adil, dan didengar. Kebisingan muncul ketika keadilan menghilang dan akal sehat dikesampingkan.
Maka, barangkali yang perlu ditanyakan bukan lagi mengapa rakyat berisik, melainkan: mengapa penguasa begitu takut pada suara rakyatnya sendiri? Sebab di republik ini, diam bukan selalu tanda setuju. Dan bising, sering kali, justru bentuk paling jujur dari cinta yang kecewa pada negeri. (*)







