Oleh: Jufri
Ketua PD Muhammadiyah Kota Tebing Tinggi
Indonesia adalah negeri yang setiap hari memanggil nama Tuhan, tetapi pada saat yang sama merusak apa yang Tuhan titipkan. Kita berbaris di rumah ibadah, namun berbaris pula di antrean izin konsesi. Kita membaca ayat, tetapi juga menandatangani izin penjarahan alam. Kita memuja Sang Pencipta, namun menghancurkan ciptaan-Nya.
Kita bangsa paradoks, bangsa yang rajin beribadah, tetapi sering menipu Tuhan.
Setiap terjadi banjir bandang, longsor, atau gelombang bencana di Sumatera dan Kalimantan, narasinya selalu sama: “Ini ujian, ini musibah, mari kita bertaubat.”
Sayangnya, yang dimaksud “taubat” di negeri ini sering hanya ritual: istighfar di bibir sementara mesin perusak bumi tetap bekerja di hulu sungai. Doa di mulut, tetapi izin tambang berjalan seperti biasa. Sujud di masjid, namun tangan masih menggores tanah dengan kerakusan.
Beginilah cara kita menipu Tuhan: mengira Tuhan bisa dibujuk dengan kata-kata sementara perbuatan kita tetap sama.
Ketika Ritual Menyelimuti Kerusakan Moral
Bangsa ini mencintai ritual. Kita ahli membuat acara doa bersama, ahli menggelar zikir akbar, ahli menyebut “insya Allah” dan “alhamdulillah” di ruang sidang.
Namun ketika bicara soal menghentikan pembalakan liar, mengusut mafia tambang, menutup kebun sawit ilegal, atau menindak perusahaan yang merusak DAS—tiba-tiba mulut kita kelu.
Ritual mengalir deras; keberanian moral mengering. Inilah paradoks itu: agama menjadi pelindung psikologis, bukan kompas etis.
Dosa Ekologis: Dosa Yang Tak Bisa Ditipu
Dosa ekologis memiliki karakter unik: ia menuntut konsekuensi nyata.Anda bisa menangis semalaman, tetapi banjir tidak akan surut. Anda bisa istighfar ribuan kali, tetapi hutan tidak akan tumbuh kembali. Anda bisa mengutip ayat, tetapi gunung yang dipapas tidak kembali utuh.
Tuhan mungkin mengampuni, tetapi alam tidak. Alam bekerja dengan hukum sebab-akibat: siapa merusak, dia menuai. Dan kita sedang menuai semuanya: tanah longsor, banjir bandang, krisis air, penyakit, hingga hilangnya masa depan.
Mengapa Kita Menipu Tuhan?
Karena menipu Tuhan itu mudah: cukup dengan kalimat-kalimat religius.
Yang sulit adalah menipu alam, menipu hukum fisika, menipu sejarah, dan menipu generasi mendatang.
Kita sering merasa, selama mulut kita menyebut nama Tuhan, kita aman.
Padahal yang dilihat Tuhan bukan kata-kata, melainkan perilaku dan tanggung jawab.
Menyebut nama Tuhan di mulut tetapi merusak ciptaan-Nya di tangan, adalah bentuk kemunafikan yang paling halus, dan paling berbahaya.
Kita Butuh Kejujuran Ekologis
Kalau bangsa ini benar-benar ingin berhenti menipu Tuhan, langkahnya bukan sekadar memperbanyak ritual, tetapi:
1. Berani menghentikan korporasi yang merusak alam.
2. Mengusut pejabat yang memperjualbelikan izin eksploitasi.
3. Memulihkan hutan dan sungai sebagai amanah, bukan proyek.
4. Membangun budaya ekologis berbasis nilai agama dan kemanusiaan.
5. Menjadikan ormas besar seperti Muhammadiyah bukan hanya penolong bencana, tetapi pembela hutan dan penjaga ruang hidup rakyat.
Tuhan tidak butuh retorika kita. Dia butuh kejujuran kita. Dan alam tidak mendengar doa, tetapi merespons tindakan.
Selama kita terus merusak bumi, lalu berlindung di balik doa, kita bukan umat yang bertaqwa, kita sekadar bangsa yang pandai bersilat kata.
Bangsa yang menipu Tuhan, tetapi sebenarnya sedang menipu dirinya sendiri. (*)
Silaturahmi Kolaborasi Sinergi Harmoni








