TAJDID.ID~Medan || Assoc Prof. Dr. Alpi Sahari, SH, M.Hum, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), menilai wacana percepatan reformasi Polri saat ini berpotensi terjebak dalam problem framing dan bounded rationality yang tidak sepenuhnya berbasis metodologi ilmiah.
Hal tersebut disampaikan Alpi Sahari menanggapi kegiatan Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dibentuk Presiden Prabowo Subianto, yang melakukan kunjungan ke Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Jumat (12/12/2025). Kegiatan tersebut dihadiri sejumlah tokoh, di antaranya Mahfud MD dan Ahmad Dofiri, untuk menyerap aspirasi publik terkait reformasi kepolisian.
Menurut Alpi, dalam forum tersebut terungkap fakta bahwa dari sekitar 467.000 personel Polri, persoalan yang kerap disorot publik hanya melibatkan sekitar 10 persen oknum. Sementara lebih dari 90 persen personel dinilai masih menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat dengan baik.
“Generalisasi terhadap 10 persen oknum untuk mewakili keseluruhan institusi Polri jelas tidak tepat dan berpotensi menyesatkan arah reformasi,” ujar Alpi Sahari, yang juga pernah menjadi saksi ahli dalam kasus Tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Alpi mengapresiasi pandangan Dekan Fakultas Hukum USU, Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, yang menekankan pentingnya transformasi kultural dalam tubuh Polri. Menurutnya, Polri perlu terus memperkuat budaya pelayanan, perlindungan, dan pengayoman kepada masyarakat.
“Transformasi kultural itu pada dasarnya merupakan persoalan internal kepolisian. Solusinya lebih pada penguatan lex berupa SOP, etika, dan moralitas, bukan pada perubahan beginselen begrippen seperti undang-undang atau restrukturisasi kelembagaan Polri,” tegas Alpi.
Ia juga mendukung usulan perbaikan pola rekrutmen melalui kerja sama dengan perguruan tinggi, penguatan pendidikan etika dan moral, serta peningkatan pengawasan internal dan eksternal yang melibatkan masyarakat. Namun demikian, Alpi mengingatkan agar independensi Polri tetap dijaga dan tidak dilemahkan melalui penempatan institusi kepolisian di bawah kementerian atau perubahan struktural yang tergesa-gesa.
Lebih lanjut, Alpi menyinggung hasil survei Litbang Kompas dan Ipsos Global Trustworthiness Index yang menunjukkan tingkat kepuasan dan kepercayaan publik terhadap Polri berada pada kisaran 60 hingga 80 persen sebelum Pileg dan Pilpres 2024. Angka tersebut, menurutnya, mencerminkan kuatnya legitimasi sosial Polri di mata masyarakat.
Namun pasca Pemilu 2024, terutama setelah aksi demonstrasi damai pada akhir Agustus yang memprotes kenaikan tunjangan anggota DPR RI, citra Polri kembali disorot. Aksi tersebut, kata Alpi, dinodai oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab yang melakukan perusakan fasilitas umum dan mengganggu ketertiban, sehingga memaksa Polri bertindak sesuai tugasnya dalam menjaga kamtibmas.
“Dalam situasi itu, Polri justru dijadikan sasaran kemarahan, termasuk penyerangan terhadap fasilitas kepolisian, yang kemudian digiring pada tuntutan reformasi Polri. Padahal, secara ilmiah, tidak ada korelasi variabel yang cukup untuk menyimpulkan perlunya reformasi struktural besar-besaran,” ujarnya.
Alpi menilai kondisi tersebut menunjukkan adanya upaya problem framing, yakni pembingkaian masalah publik melalui emosi seperti kemarahan dan ketakutan untuk memobilisasi dukungan politik tertentu. Ia juga mengaitkannya dengan konsep policy bubbles, di mana respons kebijakan menjadi berlebihan akibat tekanan emosi publik.
“Ini sejalan dengan teori bounded rationality Herbert Simon, bahwa keputusan publik sering kali dipengaruhi faktor kognitif dan afektif, bukan analisis rasional murni. Jika tidak hati-hati, reformasi Polri justru bisa menjadi reaksi emosional yang melemahkan institusi yang selama ini relatif solid dan dipercaya publik,” pungkas Alpi Sahari. (*)






