Oleh: Jufri
Ketua PD Muhammadiyah Kota Tebing Tinggi
Menasehati orang kecil mungkin tak membutuhkan keberanian besar. Namun menasihati orang yang berkuasa atau pemimpin, pejabat, penguasa ekonomi, atau tokoh berpengaruh adalah urusan lain yang jauh lebih rumit. Di sana, nasihat bukan sekadar soal benar dan salah, tetapi berkelindan dengan kepentingan, gengsi, hierarki, citra diri, serta rasa takut kehilangan posisi dan pengaruh.
Dalam banyak kasus, kekuasaan pelan-pelan membangun tembok tebal yang memisahkan seseorang dari kritik. Semakin tinggi posisi seseorang, semakin jarang ia mendengar suara yang jujur. Yang datang sering kali hanya pujian, sanjungan, dan laporan yang sudah “dipoles”. Di titik ini, kekuasaan berisiko menjadi ruang gema (echo chamber), tempat seseorang hanya mendengar apa yang ingin ia dengar.
Padahal, kekuasaan tanpa kritik ibarat kapal besar tanpa kompas. Ia mungkin tampak gagah berlayar, tetapi sesungguhnya sedang menuju karang.
Antara Nasihat dan Ancaman
Bagi orang yang berkuasa, nasihat kerap tidak lagi terdengar sebagai kepedulian, melainkan ancaman. Kritik dianggap sebagai bentuk perlawanan, ketidakloyalan, bahkan pembangkangan. Di sinilah letak kerumitannya. Niat baik bisa disalahpahami sebagai serangan. Kejujuran dianggap sebagai upaya menjatuhkan.
Akibatnya, orang-orang di sekitar penguasa sering memilih aman: diam. Sebab diam terasa jauh lebih selamat daripada jujur. Dalam iklim seperti ini, keberanian untuk menasihati menjadi barang langka. Bukan karena tak ada yang tahu mana yang keliru, melainkan karena risiko sosial, politik, bahkan ekonomi yang harus ditanggung terlalu besar.
Nasihat yang Tak Selalu Menyenangkan
Nasihat sejatinya memang tidak selalu menyenangkan. Ia kerap pahit, menusuk ego, dan mengguncang rasa nyaman. Di situlah ujian bagi orang yang berkuasa: apakah ia cukup besar untuk menerima kenyataan yang tidak manis? Ataukah ia lebih memilih mempertahankan ilusi kebenaran versinya sendiri?
Sejarah mencatat, banyak kekuasaan runtuh bukan semata karena kekurangan lawan, tetapi karena kehilangan penasehat yang jujur. Ketika semua orang hanya berlomba menjadi penjilat, penguasa sesungguhnya sedang berdiri sendirian, tanpa cermin yang memantulkan wajah aslinya.
Antara Ketulusan dan Kepentingan
Kerumitan lainnya terletak pada motif orang yang menasihati. Tidak semua nasihat lahir dari ketulusan. Ada pula yang dibungkus kepentingan, strategi, bahkan manipulasi. Ini membuat penguasa semakin curiga terhadap setiap kritik yang datang. Ia sulit membedakan mana yang tulus, mana yang politis. Akhirnya, semua kritik dianggap berbahaya.
Di sisi lain, orang yang benar-benar tulus sering kali justru tidak punya akses untuk didengar. Ia tersisih di pinggiran, kalah oleh mereka yang pandai merias kata dan memoles kepentingan.
Kekuasaan dan Kerendahan Hati
Pada akhirnya, kerumitan menasihati orang yang berkuasa berpulang pada satu hal mendasar: kerendahan hati. Kekuasaan cenderung menggoda manusia untuk merasa paling tahu, paling benar, dan paling pantas. Di titik ini, nasihat menjadi tidak lagi dibutuhkan, karena kebenaran dianggap telah menyatu dengan kehendak penguasa itu sendiri.
Padahal, justru di puncak kekuasaan, seseorang paling membutuhkan pengingat. Pengingat bahwa ia tetap manusia, tetap bisa salah, dan tetap terikat pada nilai-nilai yang lebih tinggi dari jabatan dan wewenang.
Menasihati orang yang berkuasa memang rumit, berisiko, dan sering berujung sunyi. Namun sejarah juga menunjukkan bahwa perubahan besar kerap lahir dari keberanian kecil: keberanian untuk berkata benar di hadapan kekuasaan. Meski tak selalu didengar, nasihat yang jujur tetap memiliki martabatnya sendiri. Ia mungkin gagal mengubah penguasa hari ini, tetapi bisa menjadi catatan kebenaran bagi masa depan.
Sebab pada akhirnya, kekuasaan tanpa nasihat adalah kesombongan yang menunggu kehancuran. (*)
Silaturahmi Kolaborasi Sinergi Harmoni






