Oleh: A. Solihein Ridha
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Sejak wahyu pertama kali turun kepada Nabi Muhammad, Al-Qur’an telah diyakini sebagai pedoman sepanjang masa. Pesannya melampaui zaman, melintasi sejarah, dan tetap relevan bagi siapa pun yang bersedia mendengarkan dengan hati terbuka. Namun, perubahan zaman yang begitu cepat—digitalisasi, pergeseran budaya, dan kompleksitas sosial—menuntut cara-cara baru dalam memahami wahyu. Mustahil memahami ayat-ayat suci dengan cara yang persis sama seperti yang dilakukan orang-orang di abad ke-7. Di sini penafsiran baru terhadap wahyu menjadi krusial, agar pesan wahyu yang hidup tidak terjebak dalam pembacaan teks yang kaku dan beku.
Dalam konteks inilah pemikiran Muhammad Arkoun menjadi sangat menarik. Arkoun, seorang pemikir Muslim kontemporer, mengajak kita untuk melihat wahyu sebagai pesan ilahi yang tidak pernah sepenuhnya selesai dipahami dan dimaknai. Ia menekankan bahwa Al-Qur’an bukan sekadar teks tertulis, melainkan sebuah wacana yang terus mengalir dan berdialog dengan umat manusia sepanjang sejarah (Hidayat 2024). Oleh karena itu, penafsiran wahyu harus selalu terbuka terhadap konteks zaman, akal manusia, dan pengalaman manusia yang terus berubah.
Pendekatan Arkoun dapat membantu kita membaca wahyu dengan cara yang segar. Dalam pandangannya, wahyu memiliki dua dimensi: dimensi keilahian yang sakral dan tak tersentuh (teologis), dan dimensi kemanusiaan yang terikat oleh bahasa, budaya, dan sejarah (Solahudin 2021). Dimensi keilahian tidak dapat diubah, tetapi bagaimana manusia memahami pesan-pesan ilahi (wahyu) sangat ditentukan oleh kondisi zaman. Ketika wahyu turun sebagai teks, manusia ditugaskan untuk menafsirkannya. Proses penafsiran ini, menurut Arkoun, harus terbuka terhadap kritik, dialog, dan pembaruan.
Perspektif ini krusial mengingat cara kita berinteraksi dengan Al-Qur’an saat ini sangat berbeda. Al-Qur’an tidak lagi dibaca hanya di ruang tenang atau masjid. Al-Qur’an tidak hanya berbentuk mushaf, kini Al-Qur`an tersedia dalam aplikasi digital, video pendek, sesi kajian daring, dan berbagai potongan ayat yang tersebar cepat melalui media sosial. Fenomena ini memiliki dua sisi. Di satu sisi, wahyu menjadi lebih mudah diakses oleh siapa pun, kapan pun. Namun, di sisi lain, kecepatan komunikasi digital seringkali mengurangi kedalaman makna ayat. Potongan ayat yang diunggah tanpa konteks dapat menyebabkan salah tafsir atau pemahaman yang sempit.
Arkoun memahami tantangan ini jauh sebelum era digital meledak. Ia mengusulkan hermeneutika sebagai pendekatan yang mampu menjaga kedalaman makna wahyu di tengah perubahan zaman (Putra, Salsabila, and Masyhur 2025). Hermeneutika tidak hanya mencakup teks, tetapi juga mencangkup realitas di sekitar teks dan pembacanya. Dengan demikian, pembacaan wahyu tidak berhenti pada pengulangan pendapat para ulama klasik, tetapi dapat membuka ruang bagi dialog kreatif yang menghormati tradisi.
Lebih lanjut lagi, Arkoun mengajak Ulumul Qur’an untuk tidak hanya berfokus pada metode klasik seperti asbab al-nuzul atau qiraat. Menurutnya, kajian Al-Qur’an perlu memperluas cakrawala dengan mengikutsertakan pendekatan linguistik, antropologi, semiotik, dan ilmu sosial modern (Hariyanto 2018). Bukan untuk mendangkalkan makna wahyu, melainkan untuk menggali kedalaman simbolik yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, wahyu tidak hanya dibaca secara harfiah, melainkan sebagai pesan yang kaya makna yang harus dipahami melalui berbagai lapisan.
Arkoun bahkan mengkritik kecenderungan sebagian umat Islam yang terlalu berfokus pada interpretasi normatif yang memandang Al-Qur’an hanya sebagai kumpulan syariat saja. Padahal, Al-Qur’an juga mengandung nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kebebasan, empati, dan kesadaran etis yang universal. Jika hanya berfokus pada syariat, maka dapat menghilangkan pesan moral yang lebih luas. Dalam kerangka ini, memperbarui Ulumul Qur’an bukan berarti mengubah wahyu, melainkan menafsirkan ulang cara kita berinteraksi dengannya.
Rekonstruksi pemahaman wahyu ini sangat dibutuhkan di era modern. Masyarakat kini hidup dalam dunia yang pluralistik, serba cepat, dan kompleks. Banyak isu baru bermunculan—mulai dari etika digital, hak asasi manusia, perubahan sosial berbasis gender, hingga tantangan lingkungan. Dalam situasi seperti ini, masyarakat membutuhkan pembacaan wahyu yang tidak hanya normatif, tetapi juga humanis, reflektif, dan adaptif terhadap realitas. Pendekatan Arkoun dapat menyediakan ruang untuk semua ini.
Namun, penting untuk ditegaskan bahwa Arkoun tidak pernah mengajak manusia menjauh dari agama. Ia mendesak umat Islam untuk lebih menyadari bahwa pemahaman manusia terhadap wahyu merupakan proses historis yang tidak kebal terhadap kritik dan revisi. Baginya, kesakralan Al-Qur’an tetap utuh; yang berubah adalah bagaimana manusia menafsirkan teks tersebut di berbagai zaman dan tempat yang berbeda-beda. Dengan kesadaran ini, manusia dapat menggunakan wahyu sebagai kekuatan pencerahan, bukan pembenaran atas sikap kaku dan eksklusif.
Melalui pendekatan hermeneutika, Arkoun menunjukkan bahwa wahyu harus terus “dihidupkan”—tidak hanya dibaca, tetapi juga direnungkan dan diinternalisasi dalam kehidupan nyata. Memperbarui Ulumul Qur’an bukan berarti meninggalkan tradisi, melainkan memperluasnya. Bukan berarti menghilangkan tafsir klasik, melainkan menambahkan tafsir baru agar lebih kontekstual. Dengan demikian, wahyu tetap menjadi sumber cahaya yang mampu menjawab tantangan zaman.
Pada akhirnya, menafsirkan wahyu di era modern bukanlah tugas yang mudah. Namun, pemikiran Arkoun menunjukkan bahwa umat Islam memiliki sumber daya intelektual untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang relevan sepanjang masa. Selama kita terbuka untuk berdialog, kritis terhadap pemahaman sempit, dan setia pada nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh wahyu, maka Al-Qur’an akan tetap hidup di tangan setiap generasi. Karena wahyu, menurut Arkoun, bukanlah pesan yang mati—ia hanya hidup ketika dibaca dengan akal, dan hati yang terbuka.
Melalui gagasannya, Arkoun hanya mengingatkan kita untuk tidak membiarkan cahaya itu tertutupi oleh debu pemahaman yang beku. Ia mengajak kita untuk membuka jendela baru, agar wahyu dapat masuk dengan lebih segar, lebih hangat, dan lebih dekat dengan denyut kehidupan kita saat ini. Dengan keberanian untuk bertanya dan kerendahan hati untuk mendengarkan, kita dapat menjadikan Al-Qur’an bukan sekadar kitab untuk dibaca, melainkan pendamping yang membimbing langkah kita. Sebab wahyu, di mana pun dia hadir selalu menunggu satu hal dari manusia yakni hati yang ingin memahaminya.
DAFTAR PUSTAKA
- Hariyanto, Ishak. 2018. “Hermeneutika AL-Qur`an Mumammed Arkoun.” El-Umdah 1 (2): 130–44.
- https://doi.org/10.20414/elumdah.v1i2.549.
- Hidayat, Fairuz. 2024. “Mengenal Pemikiran Muhammad Arkoun Dalam Memahami Wahyu Dan Al-Quran.”
- Fathir: Jurnal Studi Islam 1 (2): 100–119. https://doi.org/10.71153/fathir.v1i2.12.
- Putra, Aryandi Eka, Tasya Salsabila, and Laila Sari Masyhur. 2025. “Hermeneutika Dalam Penafsiran Al-Qur’an: Analisis Metode Tafsir Muhammad Arkoun.” Jurnal Tafsere 13 (1): 73–98.
- https://doi.org/10.24252/jt.v13i1.57461.
- Solahudin, M. 2021. “Kajian Al-Qur’an Dalam Perspektif Mohammed Arkoun.” Ta’wiluna: Jurnal Ilmu Al-Qur’an, Tafsir Dan Pemikiran Islam 2 (2): 1–19. https://doi.org/10.58401/takwiluna.v2i2.398.


