Oleh: Fibri Ilma Nur Aini
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Perbedaan pendapat merupakan realitas sosial yang selalu muncul dalam setiap hubungan antar manusia, baik dalam diskusi ketika di kelas, perdebatan sosial, hingga percakapan di media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa keberagaman sudut pandang adalah aspek yang wajar dalam kehidupan manusia. Menyadari dinamika ini, Al-Qur’an sebagai cara efektif untuk menyampaikan kebenaran, menggali makna, serta membangun dialog yang konstruktif. Al- Qur’an menggunakan jadal dengan cermat untuk menentang pandangan yang salah, serta mengajarkan pembaca dalam mencari kebenaran melalui argumen yang logis, dan berbasis nilai moral.
Secara umum, jadal merujuk pada bentuk argumentasi yang memiliki struktur dan metode tertentu untuk mencapai tujuan memahami atau menyampaikan kebenaran. Dalam berbagai ayat Al-Qur’an, jadal banyak digunakan sebagai pendekatan dialogis oleh para nabi. Fungsi utama jadal sendiri untuk menciptakan ruang pemikiran yang kritis dan rasional yang tidak hanya berhubungan dengan logika, tetapi juga moral, dan spiritual. Dalam mu’jam Muhfaras, Li Al-Fazhil Qur’anil Karim ditulisakan bahwa kata “jadal” muncul sebanyak 29 kali, yakni pada 16 surat dalam 27 ayat dalam Al-Qur’an.
Dua wajah jadal dalam Al-Qur’an, terdapat dua sisi yang berbeda, yaitu jadal yang terpuji (al-mamduh) dan jadal yang tercela (al-madzmum). Keduanya tidak dibedakan berdasarkan jenis perdebatan atau kekuatan argumen, tetapi lebih pada tujuan dan sikap internal yang ditunjukkan oleh individu saat berdiskusi. Jika jadal yang digunakan untuk memperkuat kebenaran , menyebarkan kebaikan, maka itu duanggap positif atau terpuji. Begitupun sebaliknya, jika dijadikan alat untuk membela kemungkaran, memperdebat yang sudah jelas kebenarannya, ini termasuk perbuatan yang tercela.
Adapun contoh jadal al mamduh dalam QS. Al-Qashas ayat 48-50, dimana pendapat yang disampaikan secara rasional, dengan tantangan terhadap lawan agar menunjukkan kitab atau argument jika mereka yakin, tidak dengan hinaan atau ejekan.
Terdapat juga contoh jadal al madzmum dalam Qs. Al-Hajj ayat 3 dan 8:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَٰدِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَٰبٍ مُّنِيرٍ, وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَٰدِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَٰنٍ مَّرِيدٍ
debat atau bantahan terhadap Allah atau wahyu tanpa dasar ilmu, tanpa petunjuk wahyu, dan sering dipengaruhi hawa nafsu atau tipuan setan. Jadal juga sebagai sarana dakwah dan pendidikan.
Karakter jadal tidak hanya berfokus pada kekuatan argumen, tetapi juga pada etika dalam berkomunikasi. Al-Qur’an seringkali memulai jadal dengan pertanyaan yang retoris dengan pemikiran kritis. Pendekatan ini bertujuan untuk mematahkan argumen lawan dengan cara yang logis.
Selain aspek logika, Al-Qur’an menekankan betapa pentingnya etika dalam berdebat, dalam QS. An-Nahl:125, Al Qur-an mengkode agar dalam berdialog dilakukan dengan cara yang baik. Prinsip ini guna menjaga kehormatan antar pihak yang terlibat.
Dalam perspektif syariat dan moral Qur’ani, jadal memiliki tujuan dan manfaat, jadal dapat menegakkan kebenaran dan membantah kebatilan ketika terdapat argument yang menyimpang, menguatkan iman dan keyakinan serta dapat menejelaskan argumen secara logis dan rasional, relevansi untuk dakwah kontemporer, debat tidak hanya soal menang-kalah, tetapi juga butuh adab, kejujuran, tawazun, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap lawan bicara.
Jadal dalam Al-Qur’an bukan sekedar teknik berdebat, melainkan seni dialog ilmiah yang mengedepankan kebenaran, akal sehat, dan nilai moral. Di era kontemporer ini, prinsip-prinsip jadal tetap relevan sebagai pedoman dalam berdiskusi dan berdebat secara konstruktif, menjaga keharmonisan sosial sekaligus menacari kebenaran yang hakiki.(*)







