• Setup menu at Appearance » Menus and assign menu to Top Bar Navigation
Minggu, Desember 7, 2025
TAJDID.ID
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
      • LabMu
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
      • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • Catatan Hukum
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto
No Result
View All Result
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
      • LabMu
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
      • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • Catatan Hukum
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto
No Result
View All Result
tajdid.id
No Result
View All Result

Robinhutan

M. Risfan Sihaloho by M. Risfan Sihaloho
2025/12/07
in Daerah, Nasional, Opini, Tilikan
0
Robinhutan
Bagikan di FacebookBagikan di TwitterBagikan di Whatsapp

Oleh: M. Risfan Sihaloho

Di tengah bencana dahsyat banjir bandang dan longsor yang melanda tiga provinsi di Sumatera, warganet tiba-tiba menemukan kosakata baru di jagat media sosial. Bukan dari kamus bahasa, bukan pula dari buku teori politik—tetapi dari kegeraman seorang akademisi. Dalam sebuah postingan-nya di media sosial,  cendekiawan yang dikenal kritis itu menyebut: “Robinhutan”.

Bagi penulis, diksi bernada satir itu sangat menggelitik. Imajinasi liar penulis langsung menangkap bahwa “Robinhutan” adalah plesetan dari “Robin Hood”, tokoh pahlawan rakyat legendaris dari Inggris Abad Pertengahan. Seorang bangsawan yang hidup di Hutan Sherwood. Diceritakan, ia adalah pembenci pejabat korup (Sheriff Nottingham, Pangeran John) dengan merampas kekayaan mereka dan kemudian membagikannya kepada rakyat miskin yang notabene selama ini disengsarakan oleh pejabat korup. Dia adalah Sang Pelawan Ketidakadilan. Sang antagonis bagi elit serakah.

Tapi “Robinhutan”? Mungkin mirip, namun kontradiktif.

Kalau Robin Hood membela rakyat yang menderita karena penindasan, Robinhutan justru “diduga” dan “dicurigai” berat justru sebagai bagian dari mesin penindasan itu sendiri. Robinhutan bisa dalam wujud oknum pejabat, aparat dan korporasi. Mereka merampas hutan dulu, baru membagikan bantuan ketika bencana datang akibat ulahnya sendiri.

Tak heran jika publik mengendus ada aroma yang sangat busuk dan tontonan menjijikkan pada opera kesigapan kemanusiaan ini.

 

Dramaturgi di Tengah Lumpur dan Genangan

Erving Goffman menyebut manusia sebagai aktor panggung sosial. Ada panggung depan (front-stage) —pertunjukan untuk publik—dan panggung belakang (back-stage), realitas asli yang tak ingin disorot kamera.

Dalam drama bencana ini, Robinhutan tampil total sebagai aktor utama: mulai dari memanggul karung sembako, memakai rompi bertuliskan “Peduli Bencana”, pasang senyum empati menahan air mata (yang entah tulus atau ecek-ecek: cuma Tuhan dan dialah yang tahu), memeluk korban bencana di depan kamera always on.

Ada juga yang naek hilikopter dan mengendarai mobil double cabin mengkilap melintasi jalan berlumpur, seolah-olah baru turun dari langit untuk menolong rakyat. Padahal publik tak lupa: sebelum banjir datang, hutan yang menjadi benteng alam telah mereka babat habis — legal atau ilegal, lewat kuasa modal maupun kuasa jabatan (tanda tangan).

Di sisi back-stage, ada laporan audit lingkungan tertahan, ada izin perkebunan ekspansif, ada kawasan hutan produksi yang berubah jadi kebun sawit, ada rimba eksotis yang luluh-lantah oleh tambang dan ada pendanaan kampanye yang bersumber dari tanah yang kini longsor.

Namun itu semua disembunyikan. Justru yang dihadirkan ke kamera hanyalah dramaturgi penyelamatan.

 

Performative Activism: Kemanusiaan sebagai Konten

Kita pernah mengenal istilah performative activism: aktivisme yang hanya performa, hanya aksi simbolik—bukan tindakan substantif. Kebaikan palsu yang tujuan utamanya adalah branding, bukan perubahan.

Persis inilah inti aksi Robinhutan: membagikan sembako, lalu mengunggah videonya lebih cepat daripada menurunkan logistik. Sementara, soal menghentikan deforestasi, memulihkan lingkungan dan menegakkan keadilan hukum atas kejahatan lingkungan, nyaris tak disinggung sama sekali.

Dengan kata lain: bukan karena peduli, tetapi karena takut citra negatif turut menguap ke permukaan lumpur.

Betapa ironis, betapa menjijikkan—tetapi juga betapa efektif bagi popularitas.

Publik melihat ribuan warga mengungsi di tenda basah yang becek dan terancam kelaparan, sementara Robinhutan berdiri gagah di depan kamera dengan angle terbaik untuk diviralkan oleh buzzer yang sudah dipersiapkan di medsos, maupun media arus utama.

 

Rakyat Tidak Sebodoh yang Dikira

Dulu, bisa jadi praktik semacam ini mudah dipasarkan, mungkin karena rakyat belum terbiasa mempertanyakan.

Tapi sekarang, publik tidak ingin jadi audiens dan netizen pasif dalam lakon sandiwara kebencanaan ini.

Mereka bertanya: Kenapa banjir makin parah dari tahun ke tahun, dan sekarang malah bercampur jutaan potong kayu glondongan ? Kenapa longsor terjadi di wilayah konsesi korporasi tertentu? Kenapa izin pembukaan hutan begitu mudah ditandatangani? Kenapa status Bencana Nasional tak kunjung ditetapkan? Kenapa…? Kenapa…? Banyak lagi pertanyaan-pertanyaan menohok publik yang mencuat.

Masyarakat mulai memahami bahwa bencana bukan peristiwa alam semata, melainkan konsekuensi politik dari pengelolaan lingkungan yang eksploitatif.

Karena itu aksi Robinhutan tidak lagi disambut haru. Yang terdengar justru gumaman sinis: “Terima kasih, bencana — akhirnya kami dapat melihat siapa dalangnya.”

 

Penutup

Selama pola ekonomi ekstraktif ini tidak berubah, selama hutan masih dianggap kas untuk menggerakkan mesin politik, selama citra lebih penting daripada etika — sosok “Robinhutan” akan terus lahir, bahkan berkembang biak.

Dan bencana akan menjadi kalender rutin: datang setiap beberapa tahun sebagai hasil dari keserakahan yang disiapkan jauh sebelumnya.

Suatu saat nanti, rakyat mungkin tidak membutuhkan bantuan sembako yang dibagikan sambil diiringi kamera. Justru yang dibutuhkan adalah pahlawan yang menghentikan sumber bencana — bukan memanen popularitas di atasnya.

Sampai hari itu tiba, mari kita ulangi pesan satir publik: “Kalau Robin Hood merampas dari korup untuk diberikan kepada rakyat, maka Robinhutan merampas dari alam untuk kemudian merampas pula panggung tragedi.

Dan itulah tragedi kita yang sebenarnya. (*)

Tags: Robin HoodRobinhutan
Previous Post

Muhammadiyah DIY Mengirim Tim MDMC ke Gayo Lues

Next Post

Ethics of Care Soroti Mitigasi Bencana: “Respons Pemerintah Buruk dan Gagap”

Related Posts

No Content Available
Next Post
Penanganan Bencana Sibolga Dinilai Kaku, Ethics of Care: Negara Harus Dahulukan Manusia, Bukan Prosedur

Ethics of Care Soroti Mitigasi Bencana: “Respons Pemerintah Buruk dan Gagap”

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

TERDEPAN

  • Tiga Puisi Tentang Nabi Muhammad SAW Karya Taufiq Ismail

    Tiga Puisi Tentang Nabi Muhammad SAW Karya Taufiq Ismail

    50 shares
    Share 20 Tweet 13
  • Said Didu Ingin Belajar kepada Risma Bagaimana Cara Melapor ke Polisi Biar Cepat Ditindaklanjuti

    42 shares
    Share 17 Tweet 11
  • Din Syamsuddin: Kita Sedang Berhadapan dengan Kemungkaran yang Terorganisir

    39 shares
    Share 16 Tweet 10
  • Putuskan Sendiri Pembatalan Haji 2020, DPR Sebut Menag Tidak Tahu Undang-undang

    36 shares
    Share 14 Tweet 9
  • Kisah Dokter Ali Mohamed Zaki, Dipecat Usai Temukan Virus Corona

    36 shares
    Share 14 Tweet 9

© 2019 TAJDID.ID ~ Media Pembaruan & Pencerahan

Anjungan

  • Profil
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kirim Tulisan
  • Pasang Iklan

Follow Us

No Result
View All Result
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
      • LabMu
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
      • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • Catatan Hukum
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto

© 2019 TAJDID.ID ~ Media Pembaruan & Pencerahan

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In