Oleh: M. Risfan Sihaloho
Di tengah bencana dahsyat banjir bandang dan longsor yang melanda tiga provinsi di Sumatera, warganet tiba-tiba menemukan kosakata baru di jagat media sosial. Bukan dari kamus bahasa, bukan pula dari buku teori politik—tetapi dari kegeraman seorang akademisi. Dalam sebuah postingan-nya di media sosial, cendekiawan yang dikenal kritis itu menyebut: “Robinhutan”.
Bagi penulis, diksi bernada satir itu sangat menggelitik. Imajinasi liar penulis langsung menangkap bahwa “Robinhutan” adalah plesetan dari “Robin Hood”, tokoh pahlawan rakyat legendaris dari Inggris Abad Pertengahan. Seorang bangsawan yang hidup di Hutan Sherwood. Diceritakan, ia adalah pembenci pejabat korup (Sheriff Nottingham, Pangeran John) dengan merampas kekayaan mereka dan kemudian membagikannya kepada rakyat miskin yang notabene selama ini disengsarakan oleh pejabat korup. Dia adalah Sang Pelawan Ketidakadilan. Sang antagonis bagi elit serakah.
Tapi “Robinhutan”? Mungkin mirip, namun kontradiktif.
Kalau Robin Hood membela rakyat yang menderita karena penindasan, Robinhutan justru “diduga” dan “dicurigai” berat justru sebagai bagian dari mesin penindasan itu sendiri. Robinhutan bisa dalam wujud oknum pejabat, aparat dan korporasi. Mereka merampas hutan dulu, baru membagikan bantuan ketika bencana datang akibat ulahnya sendiri.
Tak heran jika publik mengendus ada aroma yang sangat busuk dan tontonan menjijikkan pada opera kesigapan kemanusiaan ini.
Dramaturgi di Tengah Lumpur dan Genangan
Erving Goffman menyebut manusia sebagai aktor panggung sosial. Ada panggung depan (front-stage) —pertunjukan untuk publik—dan panggung belakang (back-stage), realitas asli yang tak ingin disorot kamera.
Dalam drama bencana ini, Robinhutan tampil total sebagai aktor utama: mulai dari memanggul karung sembako, memakai rompi bertuliskan “Peduli Bencana”, pasang senyum empati menahan air mata (yang entah tulus atau ecek-ecek: cuma Tuhan dan dialah yang tahu), memeluk korban bencana di depan kamera always on.
Ada juga yang naek hilikopter dan mengendarai mobil double cabin mengkilap melintasi jalan berlumpur, seolah-olah baru turun dari langit untuk menolong rakyat. Padahal publik tak lupa: sebelum banjir datang, hutan yang menjadi benteng alam telah mereka babat habis — legal atau ilegal, lewat kuasa modal maupun kuasa jabatan (tanda tangan).
Di sisi back-stage, ada laporan audit lingkungan tertahan, ada izin perkebunan ekspansif, ada kawasan hutan produksi yang berubah jadi kebun sawit, ada rimba eksotis yang luluh-lantah oleh tambang dan ada pendanaan kampanye yang bersumber dari tanah yang kini longsor.
Namun itu semua disembunyikan. Justru yang dihadirkan ke kamera hanyalah dramaturgi penyelamatan.
Performative Activism: Kemanusiaan sebagai Konten
Kita pernah mengenal istilah performative activism: aktivisme yang hanya performa, hanya aksi simbolik—bukan tindakan substantif. Kebaikan palsu yang tujuan utamanya adalah branding, bukan perubahan.
Persis inilah inti aksi Robinhutan: membagikan sembako, lalu mengunggah videonya lebih cepat daripada menurunkan logistik. Sementara, soal menghentikan deforestasi, memulihkan lingkungan dan menegakkan keadilan hukum atas kejahatan lingkungan, nyaris tak disinggung sama sekali.
Dengan kata lain: bukan karena peduli, tetapi karena takut citra negatif turut menguap ke permukaan lumpur.
Betapa ironis, betapa menjijikkan—tetapi juga betapa efektif bagi popularitas.
Publik melihat ribuan warga mengungsi di tenda basah yang becek dan terancam kelaparan, sementara Robinhutan berdiri gagah di depan kamera dengan angle terbaik untuk diviralkan oleh buzzer yang sudah dipersiapkan di medsos, maupun media arus utama.
Rakyat Tidak Sebodoh yang Dikira
Dulu, bisa jadi praktik semacam ini mudah dipasarkan, mungkin karena rakyat belum terbiasa mempertanyakan.
Tapi sekarang, publik tidak ingin jadi audiens dan netizen pasif dalam lakon sandiwara kebencanaan ini.
Mereka bertanya: Kenapa banjir makin parah dari tahun ke tahun, dan sekarang malah bercampur jutaan potong kayu glondongan ? Kenapa longsor terjadi di wilayah konsesi korporasi tertentu? Kenapa izin pembukaan hutan begitu mudah ditandatangani? Kenapa status Bencana Nasional tak kunjung ditetapkan? Kenapa…? Kenapa…? Banyak lagi pertanyaan-pertanyaan menohok publik yang mencuat.
Masyarakat mulai memahami bahwa bencana bukan peristiwa alam semata, melainkan konsekuensi politik dari pengelolaan lingkungan yang eksploitatif.
Karena itu aksi Robinhutan tidak lagi disambut haru. Yang terdengar justru gumaman sinis: “Terima kasih, bencana — akhirnya kami dapat melihat siapa dalangnya.”
Penutup
Selama pola ekonomi ekstraktif ini tidak berubah, selama hutan masih dianggap kas untuk menggerakkan mesin politik, selama citra lebih penting daripada etika — sosok “Robinhutan” akan terus lahir, bahkan berkembang biak.
Dan bencana akan menjadi kalender rutin: datang setiap beberapa tahun sebagai hasil dari keserakahan yang disiapkan jauh sebelumnya.
Suatu saat nanti, rakyat mungkin tidak membutuhkan bantuan sembako yang dibagikan sambil diiringi kamera. Justru yang dibutuhkan adalah pahlawan yang menghentikan sumber bencana — bukan memanen popularitas di atasnya.
Sampai hari itu tiba, mari kita ulangi pesan satir publik: “Kalau Robin Hood merampas dari korup untuk diberikan kepada rakyat, maka Robinhutan merampas dari alam untuk kemudian merampas pula panggung tragedi.
Dan itulah tragedi kita yang sebenarnya. (*)


