TAJDID.ID~Medan || Mitigasi dan penanganan banjir serta tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mendapat kritik tajam dari Founder Ethics of Care, Farid Wajdi. Ia menilai pemerintah gagal menunjukkan kepemimpinan sigap dalam situasi darurat, bahkan menjadikan bencana sebagai “panggung sandiwara birokrasi”.
“Warga menunggu evakuasi, rumah hancur, korban berjatuhan. Tetapi yang kita lihat justru pemerintah sibuk menimbang citra, prosedur formal, dan kalkulasi politik,” ujar Farid, Ahad (7/12).
Menurutnya, peringatan saintifik dari BMKG sudah disampaikan sejak awal, namun respons pemerintah datang terlambat dan tidak terkoordinasi.
Farid memaparkan sejumlah kelemahan penanganan bencana, mulai dari sistem peringatan dini yang tidak berjalan, koordinasi pusat–daerah yang amburadul, distribusi logistik tersendat, hingga evakuasi korban yang berjalan lamban. “Bencana semakin parah karena infrastruktur rapuh, tata ruang tidak adaptif, dan penebangan hutan ilegal dibiarkan berlangsung,” tegasnya.
Salah satu aspek paling disorot adalah penundaan penetapan status bencana nasional. Farid menilai keputusan politik justru mengalahkan urgensi kemanusiaan. “Kerusakan jelas besar dan membutuhkan respons terpadu. Tetapi keputusan ditunda dengan alasan belum perlu bantuan asing. Ini ironis. Nyawa rakyat menunggu, sementara birokrasi berkutat pada formalitas,” lontarnya.
Ia menilai kebijakan pemerintah lebih mempertimbangkan nasionalisme simbolik daripada keselamatan warga. “Kalau bantuan asing bisa mempercepat evakuasi dan penanganan, menolaknya hanya karena soal citra adalah kesalahan fatal,” kata Farid.
Kepemimpinan Disebut Akar Masalah
Dalam pandangannya, kegagalan pemerintah bukan terletak pada ketersediaan dana atau peralatan. “Masalah utamanya adalah kepemimpinan yang lamban dan kalkulasi kebijakan yang keliru,” ujarnya.
Farid mengungkapkan banyak daerah hingga kini tidak memiliki peta risiko mutakhir, sistem drainase adaptif, maupun prosedur darurat yang jelas. Ia juga menyoroti jalur koordinasi data dari lapangan ke pusat yang tidak tersambung secara cepat dan real-time.
“Ketika pemimpin gagap mengambil keputusan, masyarakat menerima akibat terburuknya: trauma, kerugian materi, dan hilangnya kepercayaan publik,” tambah Farid.
Mitigasi Bencana Adalah Kewajiban Moral
Farid menegaskan bahwa mitigasi bencana bukan sekadar slogan dalam pidato atau statistik tahunan. Ia menyebut mitigasi sebagai “kewajiban moral, hukum, dan praktis untuk menyelamatkan nyawa.”
Menurutnya, tanpa perubahan yang serius, bencana serupa di masa mendatang akan kembali menelan korban besar. “Bencana bukan panggung citra politik. Warga menuntut tindakan nyata, koordinasi efektif, dan keputusan cepat. Diam dan menunda bukan netral — ia berpihak pada ketidakadilan dan kehancuran rakyat,” tutupnya. (*)








