TAJDID.ID~Medan || Banjir bandang dan longsor di Sumatra Utara, Barat, dan Aceh memicu kecaman terhadap sikap Kementerian HAM yang menolak tutup PT Toba Pulp Lestari (TPL). Menteri Natalius Pigai menekankan “simbiosis mutualisme” untuk hindari PHK, tapi aktivis Shohibul Anshor Siregar, dosen UMSU dan penggiat ekologis Danau Toba, sebut ini “bahasa kekuasaan” yang lindungi ekstraktifisme neoliberal.
“Saya kecewa Pigai prioritas korporasi daripada korban HAM dan lingkungan. Taruhannya masa depan Sumatra dari bencana berulang,” ujar Siregar, eks penduduk Tarutung, dalam wawancara, Sabtu (6/12).
Karena itu, ia mendesak pendekatan HAM holistik, termasuk adopsi ‘ecocide’ sebagai kejahatan.
Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara (LHKP PWM Sumut) ini membeberkan data BNPB per 5 Desember: 867 jiwa tewas (Aceh 345, Sumut 312, Sumbar 210), 521 hilang (Aceh 174, Sumut 133, Sumbar 214), ribuan luka, dan jutaan mengungsi. Penyebab utama: deforestasi hulu DAS, dengan gelondongan kayu ilegal memperburuk.
KLHK catat deforestasi nasional turun 23% jadi 166.450 ha per September 2025, tapi di Sumatra (Aceh, Sumbar, Sumut) naik tiga kali lipat dalam 10 bulan. TPL dituding kontributor, dengan konsesi tumpang tindih DAS banjir.
Konflik TPL 2025: Bentrok September lukai puluhan warga adat Sihaporas dan Natinggir, dikecam Komnas HAM sebagai kekerasan berat. Ribuan massa desak tutup TPL November, sementara Gubernur Sumut ancam rekomendasi jika abai.
Terakhir Siregar serukan aksi: “Dorong Peradilan Rakyat, kolaborasi AMAN-WALHI, dan tekan Tim Khusus KemenHAM lapor Desember ini.” Apakah Sumatra selamat dari korporasi ekstraktif? (*)








