Oleh: Farid Wajdi
Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU
Banjir besar di Sumatera kembali mengingatkan publik pada pola lama: bencana datang, elite bergerak cepat, bukan untuk membenahi akar kerusakan, melainkan menguasai ruang kamera. Desa-desa yang porak-poranda berubah menjadi panggung, sementara para pengungsi duduk sebagai latar peran. Dalam jam-jam awal pascabencana ketika warga masih mencari keluarga yang hilang, sejumlah politisi sudah mengunggah foto, video, dan paket bantuan lengkap logo partai.
Fenomena ini bukan anomali. Penelitian Lassa (2019) menunjukkan kecenderungan pemerintah dan elite politik menggunakan bencana sebagai arena legitimasi moral. Bencana menyediakan “modal simpati instan” yang jauh lebih murah dibanding menyiapkan mitigasi struktural jangka panjang.
Dalam konteks Indonesia, Pujiriyani (2022) mencatat bagaimana pola respons reaktif cenderung memberi ruang besar pada pencitraan, bukan identifikasi akar penyebab kerentanan.
Temuan-temuan ini bergema jelas di Sumatera: banjir besar, elite tampil, kamera menyala, narasi politis dibangun.
Di lapangan, warga mengaku bantuan datang cepat, tapi hanya berupa paket dasar yang bersifat seremonial. Adapun jalan hancur, bendung jebol, ratusan rumah rusak tanpa kepastian rehabilitasi. Di balik wajah-wajah peduli, struktur kerusakan bentang alam tersimpan: deforestasi hulu daerah aliran sungai (DAS), perambahan kawasan lindung, dan tata ruang yang melonggarkan izin investasi. Surono (2021) memetakan wilayah rawan longsor dan banjir di Sumatera memiliki korelasi kuat dengan degradasi tutupan hutan dalam dua dekade terakhir.
Kenyataan ini jarang muncul di narasi para elite. Mereka lebih senang berbicara soal “curah hujan ekstrem”, istilah yang aman, netral, dan tidak mengganggu kepentingan pihak yang berkantong tebal. Hal yang mengganggu di sini bukan hujan deras, melainkan keberanian politik yang menguap.
Ilusi Normalitas
Motif politiknya telanjang: bencana mengundang sorotan publik, dan sorotan publik mengundang panggung. Kehadiran elite di lokasi terdampak memberi kesan responsif, peduli, dan aktif. Ini modal elektoral yang sangat efektif, terlebih saat suhu politik memanas dalam rivalitas antar partai. Banyak analis komunikasi politik menyebutnya sebagai performative compassion, yaitu kepedulian yang tampil di permukaan, bergerak selaras kebutuhan citra, bukan kebutuhan korban (Luhulima, 2020).
Lebih jauh, ada dorongan laten untuk menutupi tanggung jawab struktural yang melibatkan aktor-aktor kuat. Kerusakan hutan tidak pernah terjadi secara spontan; ia tumbuh bersama perizinan. Degradasi DAS lahir dari kompromi kebijakan. Liberalisasi ruang muncul dari negosiasi politik-investasi. Ketika bencana terjadi, narasi harus dialihkan agar jejak panjang kelalaian tidak menyeret nama besar.
Pada titik ini, buzzer politik masuk. Buzzer bekerja menciptakan ilusi normalitas. Mereka membanjiri media sosial dengan narasi “semua sudah bekerja”, “alam sedang marah”, atau “bencana tidak bisa diprediksi”. Kritik dibingkai sebagai politisasi, padahal yang terjadi justru politisasi sebaliknya: pengaburan fakta demi menjaga reputasi elite yang beririsan dengan kepentingan korporasi. Penelitian Tapsell (2021) tentang jaringan buzzer di Indonesia menunjukkan kemampuan mereka menggeser diskursus publik, dari persoalan struktural menjadi perdebatan emosional di tingkat permukaan.
Memotret politisi sedang membagi bantuan menjadi aktivitas politis seutuhnya: ia menjual narasi negara hadir, padahal negara hadir dengan wajah kosmetik, bukan keberanian membenahi akar kerusakan. Politik di sini tidak sedang menghalalkan segala cara; ia sedang menunjukkan karakter aslinya: mengejar legitimasi, memoles reputasi, menguasai persepsi.
Dalam tradisi politik elektoral, citra sering lebih berharga daripada kebijakan substansial. Banjir menyediakan panggung dramatis yang memudahkan produksi citra. Warga yang sedang berduka tidak punya kekuatan menolak kamera. Mereka dipeluk, difoto, dijadikan poster solidaritas, sementara sistem mitigasi tak kunjung diperkuat. Ini bukan sekadar mengganggu rasa etika; ini melukai martabat warga terdampak.
Akal Sehat Tata Ruang
Pakar kebijakan publik, Nugroho (2018), mengingatkan bencana di Indonesia sering berulang karena fokus pemerintah selalu pada respons darurat, bukan pencegahan. Nugroho menyebut pola “reaktif-seremonial” sebagai penyakit lama birokrasi. Pola ini terus bertahan karena cocok dengan kebutuhan politik jangka pendek: tampil cepat, terlihat bekerja, tetapi tidak menyentuh struktur yang mahal dan penuh konflik kepentingan seperti revisi tata ruang, penegakan hukum kehutanan, atau pembatasan konsesi.
Karena itu wajar muncul pertanyaan: apakah politisi memang sibuk mengurus citra saat warga butuh perlindungan?
Secara struktural: jawabnya iya. Selama sistem penghargaan politik berbasis popularitas, bukan kinerja; selama media sosial memberi insentif pada visual dramatis, bukan transparansi kebijakan; selama partai menggunakan bencana sebagai batu loncatan elektoral; politik bencana akan terus berlangsung.
Namun yang paling berbahaya bukan panggung itu sendiri, melainkan penerimaan publik atas panggung tersebut. Ketika publik terbiasa melihat politisi datang membawa beras, bukan solusi struktural; ketika media lebih suka menyorot adegan pelukan daripada audit tutupan hutan; ketika warganet menilai empati dari jumlah unggahan, bukan dari keberanian menyentuh regulasi bermasalah; maka politik bencana bukan lagi praktik elite, melainkan budaya nasional.
Di titik ini, korban yang selamat hanya bisa berharap banjir berikutnya tidak datang lebih besar. Tapi jika akar kerusakan tetap terabaikan, harapan itu tinggal ilusi.
Bencana tidak boleh menjadi alat politik, dan politik tidak boleh berdiri di atas luka warga. Jalan keluarnya hanya satu: memaksa negara kembali pada akal sehat tata ruang, transparansi perizinan, penegakan hukum lingkungan, dan komitmen mitigasi jangka panjang.
Tanpa langkah itu, panggung politik akan terus hidup, kamera akan terus menyala, dan warga akan terus menjadi figuran dalam drama kekuasaan yang berulang! (*)






