Oleh: Jufri
Ketua PD Muhammadiyah Kota Tebing Tinggi
Fenomena kayu gelondongan yang hanyut dan menumpuk di pantai serta aliran sungai pasca banjir besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali membuka mata kita. Entah berasal dari penebangan legal atau ilegal, kehadirannya mengirim pesan keras bahwa hutan kita telah dieksploitasi secara masif. Tidak mungkin pohon-pohon di hutan tumbang secara rapi tanpa “sentuhan” mesin modern.
Sejak lama hutan-hutan Indonesia dinikmati oleh segelintir pihak. Dari era Orde Baru hingga sekarang, persoalan perizinan—bahkan yang legal sekalipun—kerap disalahgunakan. Hutan lindung ikut dibabat, sementara reboisasi berjalan jauh di bawah kebutuhan. Penebangan berjalan dalam deret ukur, penanaman berjalan dalam deret hitung—bahkan sering tidak dihitung sama sekali. Akibatnya, kehilangan hutan kita mencapai tingkat yang mengkhawatirkan; Indonesia bahkan disebut-sebut sebagai negara dengan laju kehilangan hutan tercepat kedua setelah Brazil.
Indonesia, terutama Sumatera, berada di kawasan rawan bencana. Gugusan Bukit Barisan menyimpan kekayaan alam yang luar biasa, termasuk hutan yang menjadi penyangga kehidupan. Ironisnya, pemerintah tidak cukup serius melindungi hutan, dan masyarakat dunia pun tampak kurang peduli. Eksploitasi sumber daya alam terus berlangsung di depan mata. Banyak nama besar, dari pengusaha hingga pejabat, disebut-sebut menikmati bisnis hutan ini.
Karena itu, kita memerlukan apa yang disebut “tobat ekologi”— komitmen moral dan kebijakan yang membatasi deforestasi. Kerusakan hutan akan menimbulkan ketidakseimbangan alam, pencemaran air dan udara, perubahan iklim ekstrem, kepunahan spesies, hingga hilangnya keanekaragaman hayati. Bila para pelaku perusakan hutan terus menutup mata, masa depan manusia—bahkan peradaban—akan terancam.
Kayu gelondongan yang hanyut saat banjir adalah alarm yang sangat keras. Ia menandakan bahwa ancaman tidak hanya hadir hari ini, tetapi juga membayangi masa depan. Kita jelas-jelas sedang merusak hutan dan tidak menunjukkan keseriusan untuk menghentikannya. Seolah kita sedang mengundang bencana, sekaligus perlahan membunuh generasi mendatang.
Saatnya semua pihak menyuarakan protes dan mempertanyakan komitmen pemerintah serta pengusaha yang mengelola hutan. Jangan sampai kepentingan sempit mengorbankan masa depan bumi. Jangan pula cita-cita “Indonesia Emas” hanya menjadi slogan kosong yang kelak dikutuk oleh anak cucu kita—karena kita gagal menjaga titipan Tuhan dan kalah oleh kerakusan.
Tipologi alam Sumatera yang dibentang bukit, gunung, sungai, serta panjangnya garis pantai memperbesar risiko bencana. Lintasan-lintasan rawan seperti Lembah Anai di Sumatera Barat, Medan–Kabanjahe, Takengon, Kutacane, Medan–Padang, hingga Medan–Aceh akan terus menjadi langganan banjir dan longsor. Tanah semakin labil karena daya tahannya dirusak oleh perilaku manusia.
Organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiyah, NU, MUI, PGI, dan lainnya perlu ikut menekan pemerintah dan pelaku industri untuk menghentikan kerusakan ini. Kita tidak bisa hanya rajin berdoa tanpa memperbaiki sebab-sebab kerusakannya. Bukan Tuhan yang tidak mendengar, tetapi kerakusan manusialah yang menghalangi terkabulnya doa.
Seperti ditulis Dr. Shohibul Anshor Siregar, bila kerusakan lingkungan berasal dari ulah manusia, maka anatominya harus ditelusuri: Apakah rakyat yang melakukan penebangan liar? Atau korporasi melalui penebangan legal?
Pertanyaan itu akhirnya kembali kepada peran “budak oligarki”—pemerintah yang seharusnya menjadi penjaga, bukan pembuka jalan bagi kerusakan. (*)







