Oleh: M. Risfan Sihaloho
Kalau Anda berharap penzalim akan adil terhadap Anda karena Anda sudah adil kepada mereka, sebenarnya itu sikap yang naif. Itu sama saja seperti mengharapkan seekor singa tidak memakan Anda, hanya karena Anda tidak memakannya” ✍️ Pravinee Hurbungs
Keadilan tidak pernah datang membawa karangan bunga, menawarkan medali, lalu berkata: “Terima kasih sudah sabar menunggu.” Keadilan tidak turun dengan sendirinya. Ia tidak muncul karena belas kasihan, apalagi karena penguasa sedang berbaik hati. Keadilan hanya lahir dari satu rahim: perjuangan.
Di dunia ini, penindas tidak akan berhenti hanya karena diperingatkan. Ia berhenti hanya ketika dilawan. Sebab itu, diam bukan netral. Diam adalah sekutu paling setia ketidakadilan. Diamnya kaum tertindas, itulah yang diinginkan gerombolan penindas.
Kita sering mendengar jargon tentang keadilan. Ironisnya, jargon itu paling nyaring di panggung yang sama di mana ia paling sering dikhianati.Yang lebih buruk dari ketidakadilan adalah keadilan imitasi, yang dipamerkan seperti etalase toko, tampak indah dari luar, tapi kosong di dalam.
Padahal, keadilan bukan hadiah, bukan pula kemurahan hati rezim. Ia adalah hak, bukan hak istimewa. Ia adalah amanah, bukan akses eksklusif bagi yang punya kuasa. Ia adalah utang moral yang harus dibayar lunas, bukan sesuatu yang bisa dicicil dengan wacana.
Keadilan perlu ditegakkan meskipun langit runtuh. Kalimat itu bukan romantisme revolusioner, melainkan pengakuan bahwa ketidakadilan sering kali bersembunyi di balik atap kekuasaan. Maka untuk menegakkannya, memang kadang harus merobohkan atap itu.
***
Islam menempatkan keadilan jauh di atas rasa nyaman. Al-Qur’an menegaskan dalam QS. An-Nisa: 135: “Jadilah kamu penegak keadilan dan saksi karena Allah, walaupun kesaksian itu memberatkan dirimu sendiri, ibu bapakmu, atau kerabatmu…”
Artinya sederhana namun menampar: keadilan tidak mengenal keluarga, jabatan, atau rekening.
Bahkan Surah Al-Mā’idah (5:8) menegaskan agar kebencian kepada suatu kaum pun tidak boleh membuat kita berbuat tidak adil.
Tingkat integritas moral yang berat diucapkan, apalagi dipraktikkan—terutama di negeri di mana keadilan kadang lebih cepat datang kepada yang punya orang dalam ketimbang orang yang berada di dalam kebenaran.
Rasulullah SAW bersabda: “Allah menyukai seseorang yang berlaku adil dalam memimpin.” (HR. Bukhari & Muslim)
Dalam riwayat yang lain Rasulullah SAW menambahkan: “Orang-orang yang adil akan berada di atas mimbar cahaya pada hari kiamat.” (HR. Muslim)
Mimbar cahaya itu tentunya bukan untuk yang sekadar ngomong adil, melainkan wajib menegakkannya dalam tindakan nyata dengan risiko ditanggung, harga dibayar dan tekanan dihadapi.
Epilog
Maka jelaslah, ketidakadilan bukan takdir. Bukan pula kisah distopia yang tak bisa diubah. Ia adalah kondisi yang diciptakan manusia, karena itu juga bisa dihancurkan oleh manusia.
Keadilan bukan slogan yang selesai ketika diposting. Keadilan bukan poster yang dipajang saat sesuai kebutuhan. Keadilan bukan twibbon digital yang hilang setelah masa kampanye.
Keadilan adalah perlawanan. Perlawanan terhadap tirani yang terang-terangan dan pengkhianatan yang tersenyum rapi.
Berani melawan memang bukan berarti menang hari ini. Tapi menolak melawan sudah pasti kalah sejak awal.
Pada akhirnya, perjuangan keadilan bukan hanya tentang hidup yang kita jalani, tetapi tentang warisan yang akan kita tinggalkan.
Karena bagi generasi setelah kita, yang paling menyakitkan bukan melihat ramainya jejak amis penindasan, melainkan mengetahui bahwa nenek moyangnya diam ketika seharusnya bersuara. Panjang umur perjuangan! (*)







