TAJDID.ID~Medan || Kasus ribuan aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang terseret praktik judi online bukan sekadar aib personal, tetapi merupakan gejala kerusakan struktural dalam birokrasi. Demikian disampaikan Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menanggapi temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mencatat 1.037 ASN dan tenaga honorer di Sumut terindikasi melakukan transaksi judi daring senilai lebih dari Rp2,1 miliar.
“Ini bukan hanya soal perilaku individu yang tergoda judi, tetapi bukti nyata bahwa birokrasi kita tengah kehilangan cermin moralnya,” ujar Farid, Sabtu (2/11).
Menurutnya, ASN yang digaji oleh negara untuk melayani publik justru terjebak dalam perilaku adiktif akibat lemahnya pengawasan, minimnya keteladanan pimpinan, serta budaya kerja yang permisif terhadap pelanggaran nilai.
“Di banyak instansi, disiplin hanya diukur dari absensi dan laporan kerja, bukan dari integritas. Ketika pimpinan tidak lagi menjadi panutan moral, maka bawahan kehilangan arah. Akibatnya, penyimpangan menjadi hal yang dianggap biasa,” tegas Farid.
Pembiaran Disiplin dan Krisis Keteladanan
Farid menilai lemahnya penegakan disiplin menjadi salah satu faktor utama merebaknya kasus ini. Dari ribuan nama ASN yang disebut PPATK, sebagian besar hanya mendapat teguran tertulis.
“Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin ASN sudah jelas: pelanggaran hukum seperti judi bisa berujung pemecatan. Ketidaktegasan ini bukan pembinaan, tapi pembiaran yang berpotensi menular,” ungkapnya.
Ia menambahkan, birokrasi yang membiarkan pelanggaran tanpa sanksi sejatinya sedang menggali lubang kehancurannya sendiri. Apalagi, PPATK memperkirakan total transaksi judi online di Indonesia telah mendekati Rp1.000 triliun per tahun, dengan sekitar 51 ribu pelaku berasal dari kalangan ASN di Sumut.
“Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan sinyal alarm bahwa sistem birokrasi kita gagal mendeteksi dan mencegah perilaku menyimpang sejak dini,” katanya.
Diperlukan Gerakan Integritas Struktural
Farid menegaskan, penyelesaian persoalan ini tidak bisa lagi sebatas teguran moral yang hampa. Pemerintah perlu melakukan langkah konkret melalui apa yang ia sebut sebagai gerakan integritas struktural.
“Pertama, bangun sistem deteksi dini berbasis data digital bekerja sama dengan PPATK dan lembaga keuangan. Kedua, blokir seluruh akses platform judi di jaringan pemerintah. Ketiga, reformasi sistem pembinaan ASN agar integritas dijadikan indikator utama kinerja,” paparnya.
Lebih penting lagi, katanya, negara harus menghadirkan pemimpin yang mampu menjadi teladan moral, bukan sekadar administrator yang pandai berbicara tentang etika.
Alarm Nasional
Farid menilai kasus di Sumatera Utara seharusnya menjadi alarm nasional bagi seluruh daerah di Indonesia.
“Kalau di satu provinsi saja bisa ada seribu lebih ASN terseret tanpa terdeteksi, berapa banyak yang tersembunyi di balik layar ponsel di tempat lain?” ujarnya retoris.
Ia menegaskan bahwa fenomena judi online di kalangan ASN bukan semata pelanggaran hukum, melainkan pertanda hilangnya nilai dasar pelayanan publik: integritas, tanggung jawab, dan keteladanan.
“Ketika birokrasi kehilangan cermin moralnya, publik pun akan melihat wajah negara yang kusut: tanpa wibawa, tanpa malu, dan tanpa arah,” tutup Farid Wajdi. (*)








