TAJDID.ID~Medan || Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menilai Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah sebagai kebijakan yang prematur dan cacat tata kelola. Meski diklaim sebagai langkah monumental untuk menanggulangi kemiskinan anak dan stunting, Farid menilai program tersebut justru dijalankan tanpa fondasi hukum yang kuat.
“Program MBG ini ibarat bayi kebijakan yang lahir tanpa akta kelahiran hukum,” ujar Farid dalam keterangan tertulis yang diterima TAJDID.ID, Jumat (18/10). “Ia dijalankan dengan semangat politik, tapi lupa menyiapkan pijakan legal yang menjadi prasyarat akuntabilitas publik.”
Menurut Farid, hingga kini program MBG hanya berlandaskan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang Pembentukan Badan Gizi Nasional (BGN). Padahal, peraturan tersebut hanya mengatur pembentukan kelembagaan, bukan pelaksanaan teknis program makan bergizi.
“Tidak ada Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, bahkan Perpres khusus yang secara eksplisit mengatur mekanisme MBG,” tegasnya. “Artinya, secara hukum, program ini berjalan de facto, tapi de jure tidak memiliki legitimasi normatif yang memadai.”
Farid menjelaskan, dalam sistem hukum Indonesia, setiap kebijakan yang menggunakan dana publik wajib memiliki dasar hukum yang sah. Hal ini diatur dalam UU Keuangan Negara dan UU Administrasi Pemerintahan, yang menegaskan bahwa program strategis harus didukung oleh regulasi formal yang mengatur tujuan, mekanisme, dan pengawasan.
“Ketika MBG dijalankan tanpa dasar undang-undang, maka pelaksanaan dan penyaluran dananya berpotensi melanggar asas legalitas,” kata Farid. “Tiada kewenangan tanpa dasar hukum — itu prinsip fundamental dalam hukum administrasi negara.”
Ia juga menyoroti dampak serius dari absennya dasar hukum terhadap tata kelola MBG. Mekanisme pembayaran kepada penyedia katering tidak seragam, standar gizi berbeda antarwilayah, dan mekanisme pengawasan kabur.
“Dalam ketiadaan norma hukum, semua aktor menjadi abu-abu: tidak jelas siapa pelaku, siapa pengawas, dan siapa penanggung jawab ketika terjadi pelanggaran mutu atau penyalahgunaan dana,” ujar Farid.
Selain itu, Farid menilai kekacauan juga tampak di internal Badan Gizi Nasional (BGN) yang menjadi pelaksana program. Ia menyebut ada gesekan antarpejabat serta tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain karena ketiadaan kerangka hukum yang tegas.
“Setiap keputusan BGN bisa digugat karena dianggap ultra vires, bertindak di luar kewenangan,” jelasnya. “Ini bentuk penyalahgunaan wewenang yang sistemik — bukan karena niat jahat, tapi karena negara membiarkan kebijakan berjalan tanpa peta hukum.”
Farid menegaskan, idealnya program seperti MBG dilahirkan melalui proses hukum yang jelas agar dapat menjamin prinsip legalitas, akuntabilitas, dan transparansi publik.
“Negara hukum menuntut kebijakan lahir dari hukum, bukan dari kehendak politik MBG boleh bergizi bagi wacana, tapi secara normatif ia malnutrisi. Hukum tidak bisa membenarkan kebaikan yang dijalankan dengan cara yang salah.” tutupnya. (*)