TAJDID.ID~Medan || Banjir yang kembali melumpuhkan Kota Medan pada Sabtu, 12 Oktober 2025, dinilai sebagai bukti kegagalan pemerintah kota dalam mengelola tata ruang dan infrastruktur drainase. Lebih dari 10 ribu warga terdampak, ribuan rumah terendam, dan lima kecamatan tergenang. Namun bagi pengamat kebijakan publik, persoalan utama bukan pada curah hujan, melainkan pada lemahnya tata kelola dan transparansi pemerintah daerah.
Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menegaskan bahwa banjir Medan bukanlah bencana alam, melainkan “bencana kebijakan”.
“Air tidak pernah salah arah; manusialah yang salah menata jalannya. Banjir ini bukan sekadar akibat hujan, tapi akibat perencanaan ruang yang gagal dan kebijakan yang inkonsisten,” ujar Farid Wajdi, Ahad (13/10).
Menurutnya, setiap tahun kota ini menghadapi persoalan serupa, dan setiap tahun pula pemerintah hanya merespons dengan pola yang sama: kunjungan lapangan, pembagian bantuan, serta konferensi pers penuh optimisme.
“Air tidak tunduk pada retorika. Warga sudah jenuh dengan pementasan simbolik. Mereka menuntut jawaban konkret: kenapa drainase tak berfungsi, kenapa kolam retensi gagal menampung air, dan ke mana dana proyek pengendalian banjir itu mengalir?” tegasnya.
Data dari BPBD Medan mencatat, sedikitnya 10.391 jiwa terdampak dan 3.181 rumah warga terendam di lima kecamatan: Medan Johor, Medan Labuhan, Medan Selayang, Medan Polonia, dan Medan Maimun. Di sejumlah titik seperti Pulo Brayan dan Tanjung Sari, air bahkan bertahan hingga dua hari pascahujan, memicu keluhan warga terkait penyakit kulit dan ancaman demam berdarah.
Farid menilai, akar masalah banjir di Medan terletak pada paradigma pembangunan yang bersifat tambal-sulam.
“Drainase dibersihkan hanya menjelang musim hujan. Proyek pengendalian banjir dijalankan tanpa data topografi dan curah hujan yang akurat. Kawasan resapan justru dikorbankan untuk proyek perumahan dan komersial,” katanya.
“Sementara itu, pemerintah lebih sibuk mengelola citra ketimbang mengelola air.” imbuhnya/
Ia juga membandingkan langkah Medan dengan kota-kota lain di Indonesia. “Ketika Jakarta mulai membangun sistem pengendalian air berbasis teknologi dan Surabaya memetakan jaringan drainase secara digital, Medan masih mengandalkan laporan lisan dari lurah dan camat. Ini menunjukkan betapa lambannya adaptasi pemerintah kota terhadap pendekatan modern,” ujar Farid.
Untuk memperbaiki kondisi, Ethics of Care merekomendasikan tiga langkah mendesak bagi Pemerintah Kota Medan. Pertama, melakukan audit menyeluruh proyek drainase dua tahun terakhir, termasuk memeriksa laporan kontraktor dan volume pengerukan sungai. Kedua, memublikasikan peta genangan dan rencana pengendalian banjir secara daring agar publik dapat memantau progresnya. Ketiga, memberlakukan moratorium izin pembangunan di bantaran sungai dan zona resapan air.
“Banjir kali ini bukan lagi peringatan, tapi ultimatum. Jika pemerintah kota masih menjawab air dengan kata-kata, maka setiap tetes hujan berikutnya akan menjadi bukti bahwa birokrasi kita lebih pandai berenang di lautan retorika ketimbang mengeringkan akar persoalan,” tutup Farid. (*)