TAJDID.ID~Medan || Kasus keracunan yang menimpa ratusan siswa penerima Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali memicu sorotan tajam publik. Program yang digagas untuk memenuhi hak dasar anak atas gizi sehat justru berubah menjadi sumber trauma sekaligus gugatan atas lemahnya pengawasan pemerintah.
Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menilai insiden berulang tersebut bukanlah kebetulan, melainkan tanda kegagalan struktural dalam eksekusi program.
“Seharusnya MBG menjadi simbol kepedulian negara terhadap generasi muda. Tapi kenyataannya, anak-anak malah jatuh sakit akibat makanan dari negara. Itu artinya ada yang tidak beres dalam rantai pengadaan, pengolahan, dan distribusi,” kata Farid, Sabtu (21/9).
Menurutnya, pemerintah memang kerap mengklaim telah menyiapkan Standard Operating Procedure (SOP) yang ketat. Namun, tanpa disiplin pelaksanaan, SOP hanya menjadi dokumen formalitas. “Begitu SOP dilanggar, yang dipertaruhkan bukan sekadar kualitas layanan, tapi keselamatan generasi bangsa,” ujarnya.
Farid juga menyinggung perdebatan mengenai usulan mengganti skema MBG dengan bantuan uang tunai. Meski dianggap lebih praktis, menurutnya opsi ini juga rawan disalahgunakan di tengah tekanan ekonomi keluarga. “Tanpa standar jelas, kualitas gizi anak justru makin sulit dikontrol. Jadi, bukan sekadar memilih makanan siap saji atau uang tunai, tapi bagaimana kualitas eksekusinya,” jelasnya.
Ia menambahkan, pemerintah perlu mempertimbangkan model hibrid. “Di wilayah dengan distribusi yang terjamin, makanan siap saji bisa dipertahankan. Tetapi di daerah sulit atau rawan penyimpangan, bantuan tunai bisa diuji coba,” katanya.
Selain itu, Farid menyoroti rendahnya penyerapan anggaran MBG. Dari total alokasi yang fantastis, sekitar Rp71 triliun bahkan harus direalokasi agar tidak menganggur. “Anggaran besar tanpa eksekusi yang tepat hanyalah deretan angka kosong. Ini menunjukkan perencanaan sejak awal tidak matang atau kapasitas pelaksana yang rapuh,” tegasnya.
Lebih mendesak, menurut Farid, pemerintah harus segera memulihkan kepercayaan publik. Caranya, dengan audit independen, transparansi data, dan sanksi tegas bagi pihak yang lalai. “Publik tidak lagi butuh retorika evaluasi. Yang dibutuhkan keterbukaan data dan keberanian menindak. Kalau ini tidak dilakukan, MBG hanya akan dipandang sebagai proyek politik,” ujarnya.
Farid menegaskan bahwa pertanyaan terbesar bagi pemerintah saat ini adalah: apakah lebih mementingkan kecepatan menjangkau angka besar, atau keberanian memperlambat demi menjamin anak-anak mendapatkan gizi sehat dan aman.
“Yang dipertaruhkan bukan sekadar reputasi program, tapi masa depan generasi bangsa. Kalau negara gagal memastikan keamanan makanan di piring anak-anaknya, untuk apa semua klaim dan prestasi itu?” pungkasnya. (*)