Oleh: M. Risfan Sihaloho
Pengerajin Anyaman Kata di Gerakan Rakyat Menulis (GERAM)
Fase awal kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto tidak berjalan di jalan tol mulus seperti yang dibayangkan para pendukungnya. Sebaliknya, jalan yang ia tempuh lebih mirip jalur bergelombang penuh tambal-sulam, sebab bayang-bayang presiden sebelumnya, Joko Widodo, masih begitu pekat menempel di langit kekuasaan.
Indikasinya gamblang. Formasi kabinet Merah-Putih Prabowo masih dipenuhi wajah-wajah lama, yang oleh publik sudah keburu diberi stempel “Geng Solo.” Mereka adalah tangan-tangan lama Jokowi yang menancapkan kuku dalam-dalam di sendi kekuasaan, bahkan setelah estafet kepemimpinan resmi berpindah tangan. Tidak heran bila muncul ungkapan sarkastik: ada dua matahari dalam satu rezim. Sebuah anomali politik yang rawan menimbulkan disorientasi.
Baca juga: Kekuasaan yang Aman(ah)
Namun, posisi Prabowo memang dilematis. Ia tahu betul, kemenangannya pada Pilpres 2024 bukan sepenuhnya hasil kekuatan sendiri, melainkan juga efek dari hegemoni rezim Jokowi yang kala itu masih superior. Tanpa restu langit Jokowi, mungkin jalannya akan lebih terjal.
Tetapi di sisi lain, Prabowo juga sadar: legitimasi kekuasaan tidak bisa selamanya dipinjam. Seorang presiden perlu menegaskan virtunya—ciri khas, jati diri dan DNA kekuasaan yang membedakan dirinya dari pendahulu.
Masalahnya, “orang-orang Jokowi” justru lebih sering dianggap sebagai beban ketimbang modal. Mereka ibarat ballast yang membuat kapal Prabowo sulit berlayar cepat. Bahkan, publik melihatnya sebagai toksik, simbol kontinuitas dari sesuatu yang ingin ditinggalkan. Maka resistensi muncul: bukan semata kepada Prabowo, melainkan kepada bayang-bayang Jokowi yang masih terus ikut mencoraki kekuasaan.
Dalam konteks itulah istilah dejokowisasi mengemuka. Publik mulai membaca gebrakan Prabowo yang lebih radikal (radical break) sebagai upaya membongkar pengaruh lama. Reshuffle kabinet belakangan ini, misalnya, dianggap bukan sekadar penyegaran, melainkan langkah strategis untuk mempreteli anasir-anasir Jokowi yang masih menempel di tubuh rezim. Dejokowisasi berarti membersihkan punggung dari beban masa lalu, agar Prabowo bisa berlari kencang dan lincah tanpa bayang-bayang patron sebelumnya.
Baca juga:
Gila Berkuasa
Topeng Kekuasaan
Apakah ini proses alami? Bisa jadi. Setiap presiden pasti ingin meninggalkan jejak yang otentik. Namun, proses dejokowisasi ini juga mengandung risiko besar.
Pertama, Jokowi masih punya basis politik dan jaringan ekonomi yang tidak bisa dipandang remeh. Mengusik terlalu keras bisa menciptakan friksi horizontal dalam tubuh koalisi.
Kedua, publik yang terlanjur muak dengan gaya lama tentu menaruh ekspektasi besar: dejokowisasi harus lebih dari sekadar bongkar-pasang kabinet; ia harus menjelma menjadi perombakan paradigma. Jika tidak, publik hanya melihat ini sebagai kosmetik politik belaka.
Satu hal jelas: rezim “dua matahari” tidak mungkin berlangsung lama. Cepat atau lambat, salah satu sinar harus meredup. Prabowo berada di persimpangan sejarah—apakah ia akan tetap menjadi “penerus Jokowi” yang tidak pernah lepas dari bayangannya, ataukah ia bertransformasi menjadi presiden dengan wajah dan watak baru, meski harus menanggung risiko konflik internal elite.
Dengan kata lain, dejokowisasi bukan sekadar pilihan, tapi mungkin jalan takdir. Pertanyaannya tinggal: berani sejauh apa Prabowo memutus pusar kekuasaan yang dulu justru membantunya lahir sebagai presiden? Kita tunggu perkembangannya. (*)