Oleh: M. Risfan Sihaloho
Pengerajin Anyaman Kata di Gerakan Rakyat Menulis (GERAM)
Belakangan ini, kata “rampas” menggema di ruang publik. Tidak lagi sekadar kata kerja biasa, melainkan sebuah sarkasme diksi politis yang sarat makna: ada desakan, ada kemarahan, ada dendam sejarah yang seolah terakumulasi di dada rakyat. Teranyar, desakan agar segera lahir UU Perampasan Aset terasa implosif—meledak dari dalam, seperti gunung berapi yang terlalu lama dipendam.
Kenapa ini bisa terjadi? Karena rakyat sudah lama menyimpan perasaan keterampasan—sebuah kondisi psikologis yang dalam teori sosial klasik disebut Relative Deprivation. Singkatnya: rakyat merasa haknya terus dirampas, kesejahteraannya dijarah, keadilannya dikebiri, sementara segelintir elite justru pesta-pora di atas penderitaan itu. Maka begitu ada isu “perampasan aset koruptor”, publik serentak berdiri dan begitu semangat berteriak: “Rampas!
Konsep Relative Deprivation pertama kali populer melalui karya sosiolog seperti Samuel A. Stouffer dan kemudian dikembangkan oleh Ted Robert Gurr dalam bukunya Why Men Rebel (1970). Menurut Gurr, perasaan keterampasan muncul ketika ada kesenjangan antara harapan (expectations) dan kenyataan (achievements). Semakin lebar kesenjangan itu, semakin besar pula potensi lahirnya kekecewaan, frustrasi, dan akhirnya tindakan kolektif berupa pembangkangan atau perlawanan.
Baca juga:
- Bero(n)tak
- Unstoppable
- Aksi Massa: Komputasi Praktik Diskursif dan Lahirnya Gerakan Konektif
- Membaca Pola Aksi Demonstrasi
- Ketika yang Lemah Melawan
Sesungguhnya, kemarahan rakyat tidak pernah lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari luka yang dibiarkan, dari janji yang diingkari, dari keadilan yang dipreteli di depan mata. Dengan kata lain, rakyat tidak semata-mata marah karena miskin. Mereka marah ketika melihat ada ketidakadilan: saat peluang, sumber daya, atau kesejahteraan yang seharusnya bisa mereka nikmati ternyata dirampas atau tidak terdistribusi secara adil.
Ironisnya, perasaan ini seperti bercermin terbalik. Bertahun-tahun rakyat mendengar jargon “negara tidak boleh kalah dengan koruptor”. Tapi dalam praktik, negara justru kalah telak—koruptor divonis ringan, harta hasil jarahan aman terkendali, bahkan masih bisa jalan-jalan ke luar negeri sambil pamer foto “healing”. Sementara di sisi lain rakyat yang hanya mencuri ayam misalnya, langsung digilas sistem hukum dengan penuh gagah.
Jadi, jangan heran kalau publik kini tak sekadar minta “UU Perampasan Aset”. Mereka ingin sesuatu yang lebih: semacam “balas dendam sosial”. Kalau bisa, harta koruptor tidak hanya dirampas, tapi juga dipertontonkan di alun-alun sebagai tontonan massal—biar anak-anak sekolah tahu perbedaan antara kerja keras dan kerja culas.
Apalagi, rasa keterampasan itu sudah terlalu lama menumpuk. Lahan rakyat dirampas korporasi, subsidi dicabut, harga kebutuhan melonjak, pajak diperas, tapi fasilitas hanya dinikmati kaum jetset. Maka ketika mendengar kata “rampas”, rakyat seolah mendapat penghiburan kecil: akhirnya ada wacana yang membalas dendam atas keterampasan kolektif itu.
Lantas muncul pertanyaan, kenapa UU ini begitu lama tertahan? Jangan-jangan, di ruang gelap kekuasaan, ada ketakutan: kalau UU Perampasan Aset disahkan, siapa tahu justru bumerang bagi sebagian orang yang kini duduk manis di kursi empuk.
Pada akhirnya, isu “rampas” ini bukan sekadar soal hukum. Ia adalah cermin psikologis bangsa yang terlalu lama menahan amarah. Rakyat tidak hanya lapar nasi, mereka juga lapar keadilan. Dan rasa lapar yang paling berbahaya adalah ketika rakyat merasa dirampas haknya, melulu dizalimi dan terus-terusan diperlakukan secara tidak adil. (*)