Oleh: M. Risfan Sihaloho
Pemred TAJDID.ID / Pengerajin Anyaman Kata di Gerakan Rakyat Menulis (GERAM)
Sudah menjadi aksioma, bahwa kursi kekuasaan adalah sesuatu yang selalu diperebutkan. Sejak zaman dahulu hingga kini, sejarah mencatat bahwa perebutan kuasa nyaris tak pernah berhenti menghiasi dinamika perjalanan peradaban manusia.
Kursi kekuasaan itu ibarat kursi pijat di mal: banyak yang antre, berebut, bahkan rela keluar biaya besar demi bisa duduk sebentar di atasnya. Bedanya, kalau kursi pijat bikin rileks, kursi kekuasaan justru sering bikin tegang dan paranoid.
Namun, konsekuensi dari itu jelas: setiap rezim yang sedang berkuasa tidak akan pernah sepi dari ujian, gangguan, dan usikan. Setiap rezim pasti diuji kritik, protes, bahkan fitnah. Itu normal dan galib, konsekuensi logis bagi siapa pun yang sedang duduk di kursi kekuasaan.
Tapi masalahnya, banyak penguasa yang menyikapi ujian itu dengan cara salah: mereka menutup telinga, mengedepankan kecurigaan, bahkan membungkam suara rakyat. Bahkan, saking paranoidnya, kritik dianggap makar, oposisi dicap musuh, dan perbedaan pandangan seakan dosa besar.
Sayangnya, tak jarang penguasa menyikapi gangguan itu dengan mental paranoid. Ketakutan kehilangan kursi membuat mereka lebih mengandalkan arogansi dan represi daripada kebijaksanaan. Karena selalu dihantui perasaan tak aman, kritik dianggap ancaman, oposisi dianggap musuh negara, dan suara rakyat yang berseberangan disikapi dengan cara dibungkam. Akhirnya, segala cara pun dihalalkan demi mempertahankan singgasana.
Baca juga:
- Gila Berkuasa
- Ikhwal Kebenaran dalam Nalar Politik dan Kekuasaan
- Demokrasi Distortif
- Penjilat
- Topeng Kekuasaan
Padahal, jika mau bercermin pada ajaran Islam, hakikat kekuasaan bukanlah milik manusia, melainkan titipan Allah. Al-Qur’an menegaskan:
“Engkau berikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki.” (QS. Ali Imran: 26)
Ayat ini mengingatkan bahwa kekuasaan hanyalah amanah. Sebuah titipan yang akan dimintai pertanggungjawaban, bukan warisan yang bisa diwariskan sesuka hati. Nabi Muhammad SAW pun pernah menolak permintaan sahabat Abu Dzar al-Ghifari yang ingin diberi jabatan, dengan bersabda:
“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, sementara jabatan itu adalah amanah. Pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan hak dan menunaikan kewajibannya.” (HR. Muslim)
Inilah pesan mendasar yang sering terlupakan: bahwa kekuasaan adalah amanah. Ia bukan ruang untuk menimbun harta, memperkaya kroni, atau melanggengkan dinasti, melainkan jalan pengabdian untuk menunaikan tanggung jawab di hadapan manusia dan Tuhan.
Kekuasaan adalah ujian. Jika amanah dijalankan dengan benar, maka keamanan kekuasaan itu datang dengan sendirinya. Tidak perlu paranoia, tidak perlu represi. Sebab, legitimasi yang paling kokoh bukanlah hasil manipulasi politik atau pengerahan buzzer, melainkan kerelaan rakyat yang percaya, serta ridha Allah SWT yang merestui.
Itulah sebabnya para khalifah awal selalu rendah hati saat menerima baiat. Abu Bakar ash-Siddiq berkata: “Aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku benar, bantulah aku. Jika aku salah, luruskanlah aku.”
Betapa indah dan arif sikap ini: sebuah kepemimpinan yang membuka ruang kritik, yang sadar diri bahwa jabatan bukanlah keistimewaan, melainkan tanggung jawab yang berat.
Sayangnya, dalam praktik kekuasaan modern kita justru sering melihat sebaliknya. Banyak penguasa yang seolah lupa pada janji amanah. Mereka sibuk memperkuat pertahanan diri, membangun tembok kekuasaan yang kaku, dan menutup telinga dari kritik rakyat. Padahal, semakin jauh dari amanah, semakin rapuh pula kursi itu.
Maka, jika para penguasa benar-benar ingin aman, jadilah amanah. Karena hanya kekuasaan yang amanah yang akan melahirkan keamanan sejati. Aman dari fitnah, aman dari makar, dan yang terpenting: aman dari murka Allah SWT di akhirat kelak.
Artinya, dengan amanah kekuasaan otomatis mendapatkan legitimasi rakyat, dan—lebih penting lagi—ridha Tuhan.
Sebaliknya, jika amanah dikhianati, sekuat apa pun pertahanan dibangun, kursi itu tetap rapuh.
Dan untuk para pejabat hari ini, jangan buru-buru merasa kursi kalian aman hanya karena disokong undang-undang yang dirancang sedemikian rupa, mendapat proteksi aparat yang siap siaga, dan didukung para buzzer yang bekerja 24 jam. Aman itu bukan soal kursi yang dijaga, tapi soal amanah yang ditunaikan. Tanpa amanah, kekuasaan hanyalah singgasana semu—indah di mata, rapuh di kaki, dan kelak berat dihisab akhirat. (*)