Oleh: Khairul Ghazali
Pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah – Guru Sekaligus Pedagang dan Mantan Napiter
Ucapan kontroversial yang memicu konflik dan viral, yang keluar dari bibir mulia Menteri Agama Prof Dr Nasharuddin Umar, sangat tidak pantas dan melukai para guru se Indonesia.
Nasharuddin Umar yang dakwah-dakwahnya selama ini dikenal menyejukkan dan menyatukan ummat, tiba-tiba berubah drastis ketika dia merendahkan guru seolah-olah guru profesi orang miskin dan pedagang profesi orang kaya, sehingga dia bilang “Kalau mau cari uang jangan jadi guru, jadi pegagang lah”.
Profesi guru sama tuanya dengan profesi pedagang. Sebelum Muhammad SAW diutus menjadi Rasul dan Nabi akhir zaman, Baginda adalah seorang pedagang. Serentak dengan itu beliau juga seorang guru bagi anak istrinya dan kaumnya. Sampai-sampai ketika konflik meletakkan Hajar Aswad menjadi beban negara dan nyaris menimbulkan perang saudara, Muhammad sang guru agung yang bergelar “shiddik dan amanah” itu tampil sebagai guru bangsa yang mengurai semua kekusutan dan mengatasi konflik dengan kebijaksanaannya yang mencengangkan dunia dan menjadi catatan tinta emas dalam sejarah peradaban manusia.
Muhammad, guru agung dan pedagang sukses itu, kelak akhirnya diutus Tuhan menjadi Rasul karena sang guru itu adalah “Uswatun Hasanah” bagi seluruh alam.
Oleh karena itu, profesi guru tak pernah tergantikan dan karenanya bagi pemerintah yang cerdas, guru adalah sang penunjuk jalan yang harusnya bergaji besar seperti pedagang. Jika bangsa ini mau maju, guru seharusnya bergaji “lebih besar” dari anggota DPR yang justru wakil rakyat yang membebani negara.
Gurulah yang harusnya lebih wajar bergaji 3 juta perhari karena mereka garda terdepan mencerdaskan anak-anak bangsa kita, bukan anggota DPR yang justru jadi garda terdepan memanipulasi anggaran dan uang rakyat.
Statemen “kalau mau cari uang jadi pedagang lah”, merupakan ucapan orang yang buta sejarah.
Imam-imam besar dan guru-guru umat sepanjang zaman adalah pedagang. Ini merujuk pada fakta bahwa beberapa ulama (guru) dalam sejarah Islam, termasuk Imam Hanafi dan Imam Muslim, juga berprofesi sebagai pedagang. Profesi dagang ini digunakan untuk menghidupi diri, menyebarkan ilmu, dan berkontribusi pada masyarakat, serta tidak menghalangi mereka untuk mencapai kedudukan sebagai pemimpin agama, justru memberikan kekayaan untuk ilmu dan amal.
Contoh Imam Besar yang merupakan Guru dan Pedagang adalah Imam Abu Hanifah. Pendiri mazhab Hanafi ini adalah seorang pedagang kain sutra yang sukses sebelum memfokuskan diri pada ilmu agama. Ia juga merupakan sosok yang sangat dihormati sebagai ulama dan guru.
Contoh lain adalah Imam Muslim, ulama hadis yang terkenal ini juga seorang pedagang pakaian yang sukses, dan mendirikan usahanya di berbagai lokasi. Ia juga dikenal dermawan dan memiliki sawah.
Mengapa “Kombinasi Guru dan Pedagang” ini Penting?
Karena aktivitas dagang memberikan kemandirian finansial kepada para ulama, sehingga mereka bisa fokus pada ilmu dan pengajaran tanpa terlalu bergantung pada orang lain. Berdagang juga memberikan pengalaman dalam berinteraksi dengan masyarakat, yang dapat memperkaya kemampuan mereka sebagai guru dan pemimpin yang memahami kehidupan umat.
Kombinasi antara berdagang dan berilmu juga mencerminkan kehidupan Nabi Muhammad SAW sendiri, yang juga berdagang sebelum menjadi seorang nabi dan pemimpin umat.
Kalau pun ada dan banyak guru di negeri ini yang tidak mahir berdagang ataupun sudah sangat terikat dengan pekerjaan gurunya sebagai ladang ibadah untuk mencerdaskan anak bangsa, harusnya negara hadir untuk mensejahterakan mereka. Seharusnya pemerintah bercermin kepada guru-guru di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Brunai dimana guru-guru disana baik negeri maupun swasta rata-rata mempunyai rumah bagus ber AC, mobil dan fasilitas-fasilitas lainnya dari negara.
Sementara di negeri kita guru-guru yang merupakan pahlawan yang sesungguhnya itu kebanyakan naik sepeda motor yg sering kehabisan minyak ditengah jalan. Subsidi beras, rumah, minyak kenderaan, dan fasilitas istimewa lainnya yang diberikan negara kepada anggota DPR, seharusnya diberikan juga lebih Besar dari wakil rakyat tersebut yang sering tidur waktu sidang wakil rakyat.
Kementerian Agama dan Pendidikan dibawah Menteri yang menyejukkan ini, Nasharuddin Umar dan Abdul Mu’ti, harusnya menjadi garda terdepan untuk mengalokasikan anggaran besar untuk kesejahteraan guru-guru kita, bukan malah mengeluarkan statemen-statemen yang menyudutkan guru.
Perhatikanlah, nasib guru seperti Oemar Bakri terus berlanjut hingga kini, di mana banyak guru honorer menghadapi gaji yang kecil, terlambat dibayar, dan kondisi kerja yang kurang layak, meskipun mereka telah mengabdi puluhan tahun dan berhasil mendidik banyak tokoh sukses. Lagu “Guru Oemar Bakri” karya Iwan Fals menggambarkan kesetiaan seorang guru pada profesinya dengan gaji yang “dikebiri”. (*)