TAJDID.ID ~ Medan || Pergantian sistem parkir di Kota Medan dari model berlangganan berbasis stiker ke sistem konvensional menuai sorotan. Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menilai kebijakan ini mencerminkan lemahnya perencanaan dan inkonsistensi pemerintah dalam mengelola sektor publik.
Menurutnya, sistem parkir berlangganan yang diluncurkan pada Juli 2024 sebenarnya memiliki konsep yang baik. Cukup dengan membayar sekali dalam setahun, pengendara terbebas dari pungutan harian, sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) lebih stabil. Tarifnya pun relatif terjangkau: Rp 90 ribu untuk motor, Rp 130 ribu untuk mobil, dan Rp 170 ribu untuk truk atau bus.
Namun, implementasi di lapangan justru menimbulkan kerumitan baru. “Manajemen yang tidak siap, lemahnya pengawasan, hingga masih adanya juru parkir yang memungut secara konvensional membuat masyarakat bingung. Alih-alih memberi kepastian, sistem ini malah menambah masalah,” ujar Farid, Senin (1/9/2025).
Kini, setelah hanya berjalan setahun, sistem berlangganan resmi ditarik. Medan kembali ke pola lama dengan juru parkir sebagai ujung tombak. DPRD Medan bahkan mendukung langkah ini dengan alasan lebih praktis dan lebih berpotensi meningkatkan PAD.
Namun, Farid mempertanyakan keputusan tersebut. “Apakah kegagalan sistem lama sudah dievaluasi secara mendalam? Jangan-jangan persoalannya bukan di konsep, tapi pada komitmen menjalankan kebijakan secara konsisten,” tegasnya.
Ia juga menyinggung soal transparansi. Sistem konvensional dinilai rawan pungutan liar dan sulit diawasi. “Yang paling dirugikan adalah masyarakat. Mereka kehilangan kepastian tarif, tetap menghadapi praktik pungli, dan merasa hanya dijadikan objek percobaan,” katanya.
Farid juga menyoroti tingginya anggaran parkir yang diambil dari APBD Medan. Pada 2024 dialokasikan Rp 26 miliar, sementara pada 2025 melonjak menjadi Rp 79 miliar. “Angka itu fantastis, tetapi tidak sebanding dengan hasil riil yang masuk ke kas daerah. Ironis jika dana besar itu justru habis untuk membiayai sistem yang akhirnya dianggap gagal,” jelasnya.
Karena itu, ia menegaskan perlunya langkah perbaikan mendasar. Pertama, evaluasi kebijakan harus dilakukan berbasis data, bukan sekadar reaksi instan terhadap polemik. Kedua, publik dan pengendara perlu dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan, agar keputusan yang diambil memiliki legitimasi sosial.
“Tanpa evaluasi menyeluruh dan partisipasi publik, sektor parkir di Medan hanya akan terus menjadi eksperimen gagal. Kebijakan publik jangan dijadikan ajang coba-coba, tetapi harus memberi kepastian, transparansi, dan manfaat nyata bagi masyarakat,” pungkas Farid. (*)