Oleh: Nashrul Mu’minin
Content writer yogakarta
Indonesia memperingati hari kemerdekaan pada 17 Agustus 2025, namun suasana yang seharusnya meriah justru ternodai oleh kenyataan getir. Berita tentang korupsi, intrik politik, dan perpecahan bangsa terus menyeruak, membuat rakyat semakin muak.
Simbol-simbol kebanggaan bangsa kalah populer oleh kibaran bendera-bendera fiksi dari budaya populer seperti anime One Piece. Fenomena ini menjadi potret suram tentang krisis identitas nasional sekaligus tanda bahaya bagi kelangsungan peradaban bangsa.
Indonesia saat ini bagaikan kapal yang berlayar di tengah badai, namun banyak awak kapalnya justru sibuk memperkaya diri. “Tikus-tikus koruptor” menjadi sebutan yang terlalu sering kita dengar, tapi jarang benar-benar diberantas.
Setiap tahun, kasus korupsi terungkap, dari level daerah hingga pusat. Dana rakyat yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan publik malah menguap ke rekening pribadi para pejabat serakah.
Rakyat semakin muak, sementara elit politik sibuk saling jegal, membuat suasana Indonesia terasa gelap. Politik yang seharusnya menjadi sarana luhur untuk memperjuangkan kepentingan rakyat justru berubah menjadi panggung sandiwara penuh kebohongan.
Di tengah kegelapan itu, muncul satu generasi yang sesungguhnya memiliki potensi besar untuk menjadi pilar peradaban baru: Generasi Z. Mereka lahir di era digital, terbiasa dengan arus informasi cepat, dan mampu menembus batas ruang serta waktu.
Generasi Z harus berani mengambil posisi sebagai penopang peradaban dan membangun gerakan moral, intelektual, dan sosial yang mendorong bangsa ini kembali kepada cita-cita luhur kemerdekaan.
Mereka harus mampu membangun gerakan yang mendorong lahirnya wacana baru tentang keadilan sosial, solidaritas, dan pentingnya budaya lokal yang berpadu dengan kemajuan global.
Dengan keberanian mereka dalam bersuara di dunia digital, koruptor dan politisi busuk tidak akan lagi merasa nyaman. Dengan kemampuan mereka mengorganisasi gerakan melalui teknologi, aspirasi rakyat bisa tersampaikan tanpa harus selalu bergantung pada wakil rakyat yang sering kali justru mengkhianati amanah.
Generasi Z harus belajar dari sejarah, menggali nilai perjuangan para pendiri bangsa, dan menghidupkan kembali makna kemerdekaan sebagai perjuangan tanpa akhir.
Kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajahan fisik, tapi juga bebas dari tirani korupsi, bebas dari politik kotor, bebas dari penindasan sistem yang menindas rakyat kecil.
Hanya dengan begitu, generasi ini bisa menjadi penopang peradaban dan benar-benar membawa kemajuan bagi Indonesia. Menurut saya, kegelapan politik hari ini justru bisa menjadi bahan bakar bagi Generasi Z untuk menyalakan obor peradaban baru.
Mereka tidak boleh puas hanya dengan mengkritik, tapi harus hadir dengan gagasan dan aksi nyata. Indonesia memang sedang dilanda kesedihan dan ricuh, namun justru di saat-saat gelap inilah sebuah generasi diuji.
Apakah mereka akan menyerah dan hanyut dalam arus, atau bangkit menjadi pilar yang menyangga masa depan bangsa? Generasi Z harus memilih yang kedua, karena masa depan Indonesia ada di tangan mereka.
Jeritan tangisan sejarah hari ini menjadi panggilan bagi Generasi Z untuk bangkit dan membawa perubahan. Garuda sakit, tapi masih bisa terbang tinggi jika Generasi Z mau mengambil peran sebagai penopang peradaban.
Menurut saya, Generasi Z memiliki potensi besar untuk menjadi penopang peradaban dan membawa kemajuan bagi Indonesia. Mereka harus berani mengambil posisi dan memperjuangkan hak-hak rakyat dengan keberanian dan kemampuan mereka. (*)