TAJDID.ID~Medan || Pengembalian kerugian negara oleh Bupati Pati dalam perkara fee pembebasan lahan kereta api memang dapat dinilai sebagai bentuk sikap kooperatif. Namun, secara hukum hal itu tidak serta-merta menghapus tindak pidana korupsi.
Hal ini ditegaskan oleh Azmi Syahputra, Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Menurutnya, jika perkara korupsi dihentikan hanya karena pelaku mengembalikan uang, maka akan tercipta preseden berbahaya.
“Seolah-olah, sekalipun melakukan perbuatan korupsi dapat ditebus dengan transaksi finansial semata. Hal ini justru melemahkan integritas penegakan hukum,” ujar Azmi dalam keterangannya, Sabtu (16/8/2025).
Azmi menjelaskan, secara yuridis korupsi merupakan delik formil, yakni perbuatan tercela yang tetap dikategorikan tindak pidana meskipun kerugian negara telah dikembalikan. “Korupsi bukan hanya mengambil uang negara, tapi juga melanggar keadilan distributif, yakni merampas hak rakyat. Jadi meskipun uang dikembalikan, keadilan substantif tidak serta-merta kembali,” tegasnya.
Ia menambahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi memiliki mandat konstitusional untuk menuntaskan perkara hingga ranah peradilan. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 UU Tipikor yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana, melainkan hanya menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.
“Dari perspektif filsafat hukum, kepastian hukum dan keadilan substantif harus berjalan beriringan, bukan digantikan dengan solusi pragmatis. Jika kasus korupsi dihentikan hanya karena uang dikembalikan, masyarakat akan kehilangan kepercayaan, hukum kehilangan daya wibawa,” papar Azmi.
Oleh sebab itu, ia menegaskan bahwa proses hukum kasus dugaan korupsi yang menyeret Bupati Pati harus tetap dilanjutkan hingga tuntas di pengadilan. “Ini penting sebagai bukti bahwa penegakan hukum di Indonesia masih menjunjung persamaan hukum, kepastian hukum, keadilan, dan integritas,” pungkasnya. (*)