TAJDID.ID~Medan || Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menilai kasus terjadinya penundaan eksekusi Silfester Matutina hingga enam tahun merupakan cermin kabut atas penegakan hukum di Indonesia.
“Putusan yang telah inkrah sejak 2019 semestinya terdakwa harus bersikap kestaria untuk langsung datang ke kejaksaan dan menjalani hukum,” ujar Azmi, Rabu (13/8).
Dan menurutnya, Kejaksaan harus segera eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dimaksud. Kejaksaan tidak boleh membiarkan eksekusi kasus inkrah tertahan 6 tahun tanpa alasan transparan. “Penundaan ini justru dapat saja menimbulkan dugaan publik apakah ada perlindungan khusus atau keberpihakan politik terhadap pelaku. Padahal sampai saat ini tidak ada alasan secara hukum maupun alasan kemanusiaan untuk menunda pelaksanaan eksekusi atas putusan Kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut.
“Hukum yang tidak dijalankan tepat waktu merupakan hukum yang mati suri dan membiarkan keadaan ini terjadi sama artinya dengan menutup mata pada prinsip keadilan.” tegasnya.
Jika pola penundaan ini terjadi karena adanya dugaan kedekatan dengan jejaring pihak-pihak tertentu atau figur tertentu dalam kekuasaan, maka menurut Azmi ini artinya bangsa ini sedang diperlihatkan sebuah proteksi politik sekaligus bencana politik yang menyalahgunakan kekuasaan.
Azmi melihat, kasus penundaan eksekusi ini bukan masalah yuridis semata, namun lebih bermuatan politis. “Terlihat disini di tengah riak kegaduhan politik, hukum menjadi abu-abu, seolah negara hukum tunduk pada kepentingan kelompok tertentu,” ungkapnya.
Azmi menjelaskan,adapun ciri -ciri kehidupan kesamaan berkelompok politik itu cendrung adanya meeting of mind dalam kesepakatan atau pengendalian tertentu,bisa saja dalam bentuk persekongkolan, saling menjaga, saling melindungi dan cenderung defensif.
Oleh karena itu, dalam kasus ini menurut Azmi kinerja hakim, terutama hakim pengawas, perlu diaudit. “Selain itu juga kinerja jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan termasuk Komisi Kejaksaan untuk mengawasi pertanggungjawaban kinerja dan profesionalisme atas kenapa eksekusi atas Silfester belum dilaksanakan sampai saat ini, perlu diaudit. Ini penting guna mewujudkan kepastian dan keadilan hukum,” ujarnya.·
Azmi mengingatkan, penegakan hukum harus berkualitas dan tidak boleh menjadi alat dinasti kekuasaan, karena itu akan dapat meruntuhkan kepercayaan rakyat dan menghancurkan sendi demokrasi.
“Pilar negara hukum itu harus berdiri di atas prinsip dimana semua warga negara setara di mata hukum. Bila prinsip ini dikorbankan, maka yang di hadapi bukan sekadar pelanggaran hukum, namun bisa jadi catatan buruk dalam penegakan hukum,” pungkasnya. (*)