TAJDID.ID~Medan || Pemerintah dinilai terlalu mengandalkan pajak di tengah daya beli masyarakat yang stagnan bahkan menurun. Hal ini berisiko menekan perekonomian rakyat kecil dan menggerus rasa keadilan fiskal.
Pendiri Ethics of Care, Farid Wajdi, mengatakan negara kini hadir di hampir setiap transaksi warga—mulai dari belanja kebutuhan harian, pulsa listrik, layanan digital, transportasi, hingga secangkir kopi di kedai. “Alasannya adalah perluasan basis pajak demi kemandirian fiskal. Namun, saat daya beli rakyat stagnan, kebijakan ini terasa seperti penekanan terhadap sendi kehidupan rakyat,” ujarnya, Ahad (10/8).
Menurut Farid, pajak memang menjadi sumber utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D), dengan kontribusi sekitar 80 persen. Namun, ia mempertanyakan kelayakan kebijakan jika pungutan terus diambil dari masyarakat yang ekonominya melemah. “Di atas kertas penerimaan pajak naik, target tercapai. Tetapi di pasar tradisional pembeli makin sepi, dan di rumah-rumah keluarga mulai mengurangi belanja protein,” tambahnya.
Anggota Komisi Yudisial periode 2015–2020 ini menilai pemerintah belum optimal menggarap potensi pendapatan non-pajak dari sumber daya alam. Indonesia, kata dia, memiliki kekayaan laut, hutan, tambang emas, batu bara, nikel, minyak, dan gas, termasuk bahan baku transisi energi yang diincar dunia. “Hilirisasi seharusnya menjadi tiket emas kemandirian ekonomi. Faktanya, nilai tambah lebih banyak masuk ke laporan laba korporasi daripada buku kas negara,” tegasnya.
Ia juga menyoroti minimnya transparansi penggunaan uang hasil penyelamatan korupsi. “Publik jarang tahu ke mana ratusan miliar atau triliunan rupiah yang diselamatkan itu pergi. Apakah kembali sebagai subsidi pangan, layanan kesehatan gratis, atau menguap di pos yang tidak jelas?” kata Farid.
Dalam pandangannya, parlemen seharusnya menjadi penyeimbang dan menguji apakah kebijakan fiskal adil serta tepat waktu. “Pertanyaannya, apakah perluasan pajak saat konsumsi lesu akan memulihkan ekonomi atau justru menekan lebih dalam? Apakah pendapatan non-pajak sudah maksimal sebelum menyasar kantong rakyat?” ujarnya.
Farid mengingatkan, pajak yang sehat hanya lahir dari ekonomi yang sehat. Memaksa memungut dari rakyat yang daya belinya rendah dapat memendekkan umur produktif perekonomian. “Pajak bukan sekadar angka di laporan negara, tapi cermin hubungan rakyat dan pemerintah. Jika yang dipantulkan hanyalah beban tanpa manfaat, rakyat akan kehilangan rasa percaya. Itu berbahaya, karena menyentuh legitimasi negara,” pungkasnya. (*)