Oleh: Dr Faisal SH MHum
Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Fordek FH PTM) Se-Indonesia/Dekan FH UMSU
Di Indonesia, politik dan hukum memiliki hubungan yang erat, kompleks, dan saling memengaruhi. Dalam praktiknya, sering kali muncul pertanyaan: apakah hukum bisa tegak berdiri tanpa dipengaruhi oleh kekuatan politik? Atau justru hukum hanyalah alat dari kekuasaan politik?
Pertanyaan ini tidak hanya relevan dalam konteks kontemporer, tetapi juga menjadi bagian dari perdebatan filosofis dan teoritis sejak zaman klasik.
Perspektif Filosofis
Secara filosofis, hubungan antara politik dan hukum telah lama menjadi topik kajian para pemikir besar. Aristoteles melihat hukum sebagai sarana untuk mencapai keadilan dalam negara. Bagi dia, hukum harus bersifat logos (rasional) dan bukan sekadar perintah penguasa.
Namun, dalam realitas politik, kita sering menyaksikan bagaimana hukum “dipinggirkan” oleh kepentingan kekuasaan. Niccolò Machiavelli, misalnya, dalam The Prince, menunjukkan bahwa politik tidak selalu tunduk pada moral dan hukum. Kekuasaan bisa saja menggunakan hukum hanya sebatas alat legitimasi.
Dalam konteks Indonesia, idealisme hukum sebagai penjaga keadilan seringkali tergerus oleh realitas politik. Peran hukum menjadi ambigu: antara alat rekayasa sosial (social engineering) atau alat legitimasi kekuasaan.
Perspektif Teoritis: Hukum dalam Bayang-Bayang Politik
Dari sisi teori, Teori Instrumentalis melihat hukum sebagai alat bagi penguasa (state law as an instrument of control). Ini diperkuat oleh pemikiran Karl Marx, yang menuding hukum hanyalah cerminan dari kepentingan kelas yang berkuasa. Dalam konteks Indonesia, banyak kebijakan dan undang-undang strategis sering diwarnai oleh motif politik, bukan semata-mata demi kepentingan rakyat.
Sebaliknya, Teori Otonomi Hukum seperti dikemukakan oleh Hans Kelsen menekankan pentingnya hukum sebagai sistem normatif yang terpisah dari politik. Dalam model ini, hukum harus netral dan tidak tunduk pada kepentingan kekuasaan.
Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa otonomi hukum seringkali menjadi ideal yang sulit dicapai. Intervensi politik dalam proses legislasi, penegakan hukum yang tebang pilih, hingga kriminalisasi terhadap oposisi, mencerminkan kuatnya cengkeraman politik dalam sistem hukum.
Pandangan Para Ahli
Beberapa pakar Indonesia telah lama menyuarakan pentingnya pemisahan yang sehat antara hukum dan politik. Prof. Satjipto Rahardjo, misalnya, menekankan bahwa “hukum tidak boleh hanya menjadi penjaga status quo, tetapi harus berpihak kepada keadilan sosial.” Ia menyuarakan pendekatan progresif, di mana hukum harus hadir membela kepentingan rakyat, bukan kekuasaan.
Sementara itu, Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam berbagai kesempatan mengingatkan bahwa politik dan hukum adalah dua sisi mata uang yang harus dikendalikan oleh prinsip konstitusionalisme. “Politik tanpa hukum akan melahirkan tirani, sedangkan hukum tanpa politik akan menjadi beku,” ujarnya.
Antara Harapan dan Kenyataan
Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, hubungan politik dan hukum tampak dalam berbagai fenomena yang sarat ironi dan anomali, misalnya: pembentukan undang-undang yang sarat kepentingan elite politik, penggunaan aparat penegak hukum untuk menekan lawan politik, kriminalisasi terhadap aktivis atau tokoh oposisi, serta munculnya stigma penegakan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun hukum secara formal independen, dalam praktiknya belum sepenuhnya bebas dari intervensi politik.
Relasi Politik dan Hukum yang Sehat
Hubungan politik dan hukum idealnya bersifat interdependen, bukan subordinatif. Politik seharusnya memberi arah dan ruang bagi pembentukan hukum yang berpihak pada keadilan, sementara hukum menjadi pengatur agar kekuasaan tidak dijalankan secara sewenang-wenang.
Kunci utamanya adalah penegakan prinsip rule of law (supremasi hukum), pembatasan kekuasaan melalui sistem checks and balances, serta penguatan lembaga-lembaga hukum yang independen dan akuntabel.
Penutup
Dalam konteks Indonesia, membangun relasi yang sehat antara politik dan hukum adalah tantangan besar namun niscaya. Hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan, tetapi kekuasaan harus tunduk pada hukum. Karena hanya dengan hukum yang adil dan bebas dari intervensi politik, cita-cita negara hukum yang demokratis bisa terwujud.(*)