TAJDID.ID~Medan || Founder Ethics of Care, Farid Wajdi mengatakan, sejarah tidak tercipta di ruang hampa. Ia hidup, tumbuh, dan mengakar di tempat-tempat yang menjadi saksi perubahan besar bangsa. Di Medan, sejarah itu bernama Lapangan Merdeka. Bukan sekadar ruang publik terbuka, Lapangan Merdeka adalah situs proklamasi kemerdekaan Indonesia di Pulau Sumatera—tempat berkibarnya Sang Saka Merah Putih dan diumumkannya secara terbuka kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
“Di sinilah Gubernur Sumatera pertama, Mr. Teuku Muhammad Hasan—seorang Pahlawan Nasional—bersama Ki Soegondo Kartoprodjo, Muhammad Taher, dan barisan rakyat Sumatera Timur menegaskan kemerdekaan sebagai kenyataan politik, bukan sekadar wacana dari pusat. Dalam detik-detik itu, Medan menjadi denyut awal republik di luar Pulau Jawa,” jelas Farid, Senin (4/8).
“Namun ironisnya, hingga hari ini, negara belum memberikan pengakuan resmi dan perlindungan hukum sepadan atas warisan sejarah itu. Status Lapangan Merdeka masih berada pada level Cagar Budaya Kota,” imbuhnya.
Menurut Farid, Ini bukan hanya pengabaian administratif, tetapi bentuk nyata lemahnya keberpihakan negara terhadap pelestarian sejarah nasional. “Apakah republik ini hendak lupa pada salah satu “sidik jari” kemerdekaannya sendiri?,” ujar Farid dengan nada mempertanyakan.
Farid mengatakan, gugatan yang diajukan warga bukanlah gugatan atas nama keuntungan. Ini adalah gugatan konstitusional warga negara yang menginginkan negara hadir secara nyata dalam melindungi warisan sejarah bangsa. “Mereka tidak menuntut ganti rugi, tidak meminta hukuman pidana. Mereka hanya meminta satu hal: agar pemerintah kota dan provinsi bersama-sama mengusulkan kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, supaya Lapangan Merdeka ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional,” tegas Farid.
Namun alih-alih mendapat sambutan, gugatan tersebut ditolak di pengadilan tingkat pertama dan tinggi. Gugatan warga yang tulus justru kandas karena alasan hukum formil yang terkesan mengabaikan fakta sejarah dan semangat pelestarian. “Saat ini, upaya hukum terakhir tengah menanti putusan kasasi di Mahkamah Agung,” ungkap Farid.
Farid menegaskan, penetapan Cagar Budaya Nasional bukan sekadar penghargaan simbolik. Ia menjadi benteng hukum terhadap alih fungsi ruang, tekanan komersial, dan kehendak kekuasaan jangka pendek. “Ia menjamin bahwa anak cucu kita masih bisa melihat langsung tapak sejarah kemerdekaan bangsanya, bukan sekadar membaca dari buku atau melihat dari museum digital,” kata Farid.
Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 ini mengatakan, sejarah bukan milik elit, bukan pula milik pemerintah. Sejarah adalah milik seluruh bangsa. Dan bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghormati, merawat, dan menjaga warisan sejarahnya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
“Di sinilah peran publik menjadi sangat penting. Publik perlu terus menyuarakan dukungan secara luas, menuntut pemerintah tidak abai pada nilai sejarah dan kebangsaan. DPRD, kepala daerah, biro hukum, kementerian, dan Mahkamah Agung harus disadarkan: perjuangan warga bukan sekadar soal status lapangan, tetapi tentang bagaimana publik, sebagai bangsa, menempatkan sejarah sebagai tiang utama identitas nasional,” ujar Farid.
Farid mengingatkan, jangan sampai Lapangan Merdeka—saksi lahirnya Republik di Sumatera—dibiarkan menjadi ruang abu-abu yang terlupakan, perlahan hilang di tengah modernisasi tanpa arah. “Bila negara menolak menetapkannya sebagai Cagar Budaya Nasional, itu sama saja menghapus salah satu paragraf penting dari naskah panjang sejarah kemerdekaan Indonesia,” katanya.
“Tepat di peringatan 80 tahun kemerdekaan RI, mari kita jadikan penetapan Lapangan Merdeka sebagai Cagar Budaya Nasional bukan hanya hadiah untuk rakyat Medan, tapi untuk seluruh bangsa. Sebab sejarah bukan untuk dikenang sesekali, melainkan untuk dijaga selamanya,” imbau Farid Wajdi. (*)