Oleh: M. Risfan Sihaloho
Di tengah gemuruh narasi pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan transformasi digital, rakyat kecil masih harus berjibaku dengan persoalan dasar: harga bahan pokok yang terus naik, layanan kesehatan yang tersendat, hingga pendidikan yang masih mahal.
Setiap tahun, pemerintah merumuskan kebijakan demi kebijakan yang tampak brilian di atas kertas. Tapi di lapangan, yang dirasakan rakyat bukan manfaat, melainkan kekacauan, ketimpangan, dan ketidakpastian.
Ini bukan sekadar soal kebijakan yang buruk. Ini soal hilangnya kebajikan dalam tata kelola negara.
Apa yang sesungguhnya dibutuhkan rakyat? Kebijakan?
Bukan. Rakyat mebutuhkan lebih dari itu, yakni kebajikan—ketulusan, keberpihakan, dan kehadiran nyata.
Negeri ini tidak kekurangan kebijakan. Kita punya regulasi setebal gunung. Kita punya begitu banyak kementerian yang sibuk mengkaji, merancang, dan mengevaluasi. Tapi ketika rakyat jatuh, siapa yang mengulurkan tangan?
Kebijakan terlalu sering menjadi kedok. Di balik kata “transformasi”, tersembunyi penggusuran. Di balik kata “efisiensi”, mengintai pemutusan hubungan kerja. Di balik kata “kolaborasi”, sering yang terjadi justru konspirasi mengkhianati rakyat. Di balik kata “pembangunan”, berdiri megah proyek yang melupakan manusia. Di balik kata “hilirisasi”, elit oligarki justru makin ganas mengeksploitasi Sumber Daya Alam di hulu dan rakyat cuma kebagian ampas dan sampahnya. Apa arti “kebijakan pangan nasional” jika beras masih mahal? Apa guna “reformasi pendidikan” jika sekolah masih diskriminatif? Apa makna “pemulihan ekonomi” jika rakyat kecil justru makin tercekik?
Rakyat bukan objek statistik. Mereka bukan sekadar angka dalam dashboard kementerian. Mereka manusia—yang membutuhkan sentuhan nurani, bukan jargon birokrasi.
Kebijakan, betapapun teknokratis dan canggihnya, tak akan berguna jika tidak lahir dari niat baik untuk melayani. Di sinilah kita merindukan pemimpin dan aparatur yang mengedepankan kebajikan—kemauan tulus untuk mendengar, memahami, dan hadir di tengah penderitaan rakyat, bukan hanya hadir di ruang rapat atau panggung politik.
Masyarakat tidak hanya butuh regulasi, tapi juga empati. Tidak cukup bicara insentif dan subsidi, jika tak disertai komitmen moral dan kesediaan turun langsung melihat bagaimana kebijakan itu bekerja (atau justru tidak bekerja).
Lihat saja bagaimana rakyat harus antre panjang hanya untuk mendapatkan bantuan sosial. Atau bagaimana petani menjerit karena kebijakan impor yang justru merugikan hasil panen mereka sendiri.
Lebih miris lagi, belakangan tiba-tiba muncul sejumlah kebijakan aneh dan kontroversial yang justeru membuat rakyat makin galau dan tertekan, mulai dari kebijakan tanah nganggur 2 tahun disita negara, rekening nganggur 3 bulan diblokir negara, dan lain sebagainya.
Di sini tampak jelas: kebijakan tanpa kebajikan hanya akan menjadi instrumen kekuasaan, bukan alat perubahan.
Kebajikan adalah keberpihakan yang nyata—bukan hanya jargon. Ia tumbuh dari kejujuran, kesederhanaan, dan kesungguhan hati melayani, bukan sekadar mengejar target statistik atau kepentingan elektoral.
Dalam sejarah bangsa ini, perubahan besar sering lahir dari kebajikan individu: dari guru yang mengajar di pelosok tanpa pamrih, dari dokter yang setia melayani tanpa fasilitas, dari aktivis yang terus bersuara meski dibungkam.
Saat ini, rakyat butuh lebih banyak pemimpin yang mengedepankan nurani ketimbang kalkulasi politik. Mereka merindukan negara yang hadir tidak hanya melalui kebijakan, tetapi juga melalui tindakan-tindakan kecil yang penuh kasih, pengorbanan, dan ketulusan.
Sudah waktunya kita berhenti percaya bahwa semua masalah bisa diselesaikan lewat kebijakan. Karena tanpa kebajikan, kebijakan hanyalah dokumen mati.
Kebajikan adalah kesediaan untuk mendengar, bukan hanya berbicara. Kebajikan adalah ketika negara benar-benar hadir—bukan sekadar mencatat kehadiran.
Rakyat tidak menuntut negara menjadi sempurna. Mereka hanya ingin negara menjadi manusiawi. Dan itu tidak datang dari kebijakan. Itu datang dari hati yang hidup.
Sebab pada akhirnya, kebajikan adalah bentuk tertinggi dari kebijakan. (*)