Oleh: M. Risfan Sihaloho
Kita sering kali melihat kemiskinan sebagai deretan angka: persentase, grafik, atau garis tren. Namun, di balik statistik itu, ada wajah-wajah manusia. Ada ibu yang mengurangi jatah makan agar anaknya bisa sekolah. Ada bapak yang bangun sebelum fajar, pontang panting bekerja apa pun demi sesuap nasi.
Ya. Statistik adalah penting. Tapi kemiskinan bukan hanya angka. Ia adalah denyut hidup sehari-hari.
Angka Terus Bergerak, Realita Tetap Mengakar
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025: 8,47% penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan (sekitar 23,85 juta orang). Garis kemiskinan nasional ditetapkan sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan, atau sekitar Rp 20.000 per hari. Kemiskinan ekstrem masih menyentuh 0,85% penduduk, atau lebih dari 2 juta jiwa, yang hidup di bawah batas minimum kelayakan.
Namun, jika kita mengacu pada standar Bank Dunia, khususnya untuk negara berpenghasilan menengah atas seperti Indonesia, maka ambang kemiskinan berada di kisaran US$8,30 per hari — hampir Rp 1,5 juta per bulan. Dalam standar ini, lebih dari separuh warga Indonesia masih tergolong miskin secara global.
Kemiskinan Bukan Sekadar Penghasilan Rendah
Kita sering menyempitkan definisi kemiskinan hanya pada jumlah uang. Padahal, kemiskinan juga berarti: tidak punya akses air bersih, sekolah hanya sampai SD atau bahkan tidak tamat, kesehatan tergantung pada pengobatan alternatif karena tidak mampu ke rumah sakit, gagal bersaing di dunia kerja karena keterbatasan keterampilan, tinggal di rumah yang tidak layak huni dan banyak lagi yang lainnya.
Artinya, kemiskinan adalah soal keterbatasan pilihan. Bukan karena mereka malas, tapi karena pintu-pintu kesempatan terlalu sempit — atau malah terkunci.
Ketika Angka Menipu Persepsi
Saat pemerintah menyatakan kemiskinan turun, publik kadang bereaksi skeptis. Mengapa? Karena realita di lapangan sering berbicara lain: Harga bahan pokok naik, pendapatan stagnan. Lapangan kerja formal menyusut, sektor informal makin sesak. Bantuan sosial tidak selalu tepat sasaran atau terlambat turun.
Data resmi mungkin benar secara metodologi, tetapi belum tentu menangkap nuansa penderitaan sosial. Karena angka, sebaik apa pun, tidak bisa menangkap rasa lapar, putus asa, atau kegagalan cita-cita.
Melampaui Statistik: Melihat Manusia
Jika kita ingin mengentaskan kemiskinan secara berkelanjutan, maka kita harus: Melihat lebih dekat ke wajah-wajah rakyat jelata, bukan sekadar grafik. Mendengarkan suara rakyat jelata, bukan hanya memutuskan dari balik meja. Memberdayakan, bukan sekadar memberi agar mereka bangkit dengan martabat, bukan sekadar hidup dari bantuan.
Kita butuh pendekatan yang lebih manusiawi, holistik, dan transformatif. Karena mengentaskan kemiskinan bukan cuma soal menurunkan persentase, tetapi mengangkat harkat hidup manusia.
Jika ingin benar-benar memahami dan mengatasi kemiskinan, kita perlu melihat lebih dari sekadar statistik. Karena di balik angka-angka itu, ada wajah-wajah yang sedang berjuang untuk sekadar bertahan hidup.
Penutup
Kemiskinan adalah soal empati, bukan hanya ekonomi. Maka, saat kita melihat angka-angka kemiskinan dalam laporan resmi, jangan lupa bahwa di balik setiap persen itu ada nama, ada keluarga, ada mimpi. Dan setiap mimpi yang gagal karena kemiskinan adalah kegagalan kita bersama.
Pastinya, wajah kemiskinan itu adalah fakta yang sangat nyata. Dan itu tidak cukup dilukiskan lewat angka semata. Negara harus memotretnya dengan jujur dan bijaksana. (*)