TAJDID.ID~Medan || Founder Ethics of Care, Farid Wajdi mengungkapkan, di tengah riuhnya lalu lintas Kota Medan, pejalan kaki seperti menjadi warga kelas dua. Ruang yang seharusnya menjadi hak mereka—trotoar—tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Jalur pedestrian yang idealnya aman, nyaman, dan ramah, kini justru menjelma menjadi ranjau berlubang, tempat parkir liar, hingga lapak dagangan yang menutup akses.
“Kota ini tampak sibuk mengejar predikat metropolitan, tetapi ironisnya, lupa bahwa peradaban modern selalu dimulai dari pijakan paling dasar: ruang bagi kaki warganya,” ujar Farid, Ahad (27/7).
Menurut Farid, kondisi trotoar di Medan, faktanya, memang berada pada titik nadir. Di berbagai ruas jalan utama, mulai dari kawasan pusat kota hingga jalan sekitar pasar tradisional, trotoar banyak yang tidak rata, penuh lubang, atau bahkan hilang sama sekali karena pembangunan infrastruktur yang tidak disertai perencanaan matang. Vandalisme dan minimnya perawatan membuat jalur ini semakin jauh dari kata layak. Akibatnya, kata Farid, pejalan kaki terpaksa berjalan di badan jalan, berbagi ruang dengan kendaraan bermotor yang melaju kencang. Menurutnya, situasi ini bukan hanya tidak nyaman, tetapi juga berbahaya.
“Bukankah hal ini merupakan bukti nyata bahwa hak publik benar-benar diabaikan?,” katanya
Lebih parah lagi, lanjut Farid, trotoar di banyak titik justru beralih fungsi. Parkir liar mendominasi sepanjang bahu jalan dan jalur pedestrian, terutama di kawasan komersial dan sekitar pasar. Di area permukiman pun, banyak kendaraan roda empat parkir sembarangan hingga menghalangi jalan masuk warga. Pedagang kaki lima (PKL) menumpuk dagangan di jalur pejalan kaki, bahkan ada trotoar yang dijadikan tempat penumpukan material konstruksi.
Menurut Farid, fenomena ini menggambarkan dua masalah mendasar: yakni lemahnya pengawasan pemerintah dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya ruang publik.
Padahal, kata Farid, undang-undang sudah jelas menegaskan bahwa trotoar adalah hak eksklusif pejalan kaki—bukan untuk kendaraan, apalagi sebagai gudang sementara.
“Tak hanya melanggar hukum, kondisi semrawut ini juga mencoreng citra kota. Medan terlihat kumuh, tidak teratur, dan jauh dari wajah kota modern yang diidamkan. Jalan-jalan yang penuh parkir liar, PKL, dan material proyek menciptakan kesan bahwa ruang publik adalah wilayah tanpa aturan,” tegas Farid.
“Padahal, kota yang benar-benar layak huni adalah kota yang ramah terhadap pejalan kaki. Trotoar yang baik bukan hanya fasilitas pendukung, melainkan cerminan peradaban urban yang sehat,” imbuhnya.
Farid menyebut, ancaman keselamatan menjadi dampak paling serius. Tanpa trotoar yang layak, pejalan kaki dipaksa beradu nyali di tengah arus kendaraan. Ia pun membeberkan, bahwa data kecelakaan di banyak kota besar menunjukkan bahwa pejalan kaki adalah kelompok paling rentan menjadi korban.
Di Medan, kata Farid, situasi ini ibarat bom waktu yang setiap saat siap meledak jika tidak segera diatasi. “Apakah pemerintah kota akan terus membiarkan situasi ini berlangsung tanpa solusi?,” ujar Farid.
Farid mengingatkan, sudah saatnya Pemerintah Kota Medan menjadikan trotoar sebagai prioritas pembangunan kota. Revitalisasi jalur pedestrian dengan desain yang aman, rata, estetis, dan ramah disabilitas adalah langkah mendesak. Dikatakannya, trotoar yang terawat akan mengundang warga untuk lebih banyak berjalan kaki, mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor, mengurai kemacetan, sekaligus meningkatkan kualitas udara.
Penertiban fungsi trotoar juga tidak bisa ditunda lagi. Parkir liar dan pedagang kaki lima perlu ditangani dengan pendekatan persuasif, bukan sekadar digusur, melainkan ditata dan dipindahkan ke lokasi yang lebih tepat.
Selain itu, pemerintah juga harus melibatkan komunitas warga, aktivis kota, dan kelompok pecinta lingkungan untuk mengawal kebijakan ini agar trotoar tidak kembali dikuasai kepentingan komersial jangka pendek.
“Trotoar adalah hak publik paling mendasar. Jika Medan benar-benar ingin menampilkan wajah kota modern, langkah awalnya bukan membangun jalan layang atau pusat perbelanjaan megah, melainkan menata jalur sederhana tempat warganya melangkah,” tegasnya.
“Trotoar bukan sekadar jalur pejalan kaki; ia adalah simbol penghormatan pada martabat manusia, cermin kepedulian pemerintah pada warganya, dan fondasi dari sebuah kota yang beradab,” pungkas Farid. (*)